(Abdul Wahab A: Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia)
NusantaraInsight, Bandung — Apakah segala hal dalam diri kita, baik dari segi fisik, kecerdasan, kepintaran, maupun psikologis, sudah ada dalam DNA kita sejak lahir? Ataukah sebenarnya kita ini mirip dengan sebongkah tanah liat yang ditempa hingga terbentuk?
Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana dan mungkin saja bisa dijawab secara intuitif, tetapi bagaimana riset atau pengetahuan memberikan jawabannya?
Tulisan ini dimunculkan dari hasil eksplorasi bacaan dan diskusi penulis setelah termantik oleh salah satu mata kuliah Kajian Pedagogik dan Psikologi Pembelajaran. Dalam salah satu pengalaman diskusi dengan temannya, seorang bertanya kepada penulis, kurang lebih seperti ini: “Mengapa saya kurang senang dengan matematika, padahal mata pelajaran lain sangat saya senangi? Mengapa demikian bisa terjadi?”
Banyak pertanyaan dan spekulasi jawaban sementara muncul dalam benak penulis pada saat itu. Namun, penulis berusaha membangkitkan kepercayaan diri si penanya dan menepis anggapan bahwa orang-orang yang tidak menyukai matematika berarti tidak bisa menjadi pintar atau jenius.
Seolah-olah yang tidak suka matematika itu tidak cerdas. Padahal, faktanya, hal ini tidak bisa digeneralisasi. Pada kondisi tersebut, penulis berhati-hati menjawab, sambil mencoba membangun kepercayaan diri si penanya terkait masalah itu.
Jawaban sederhana yang diberikan penulis dilandaskan pada salah satu prinsip filosofi humanistik: bahwa setiap anak itu unik dan punya bakatnya masing-masing. Sebagai individu, kita belajar dan bereksplorasi melalui pengalaman kita masing-masing hingga menemukan passion dan bakat potensial kita. Namun, setelah menjawab, penulis sendiri masih menyimpan banyak pertanyaan dan merasa kurang puas dengan jawabannya sendiri.
Banyak pertanyaan tetap membayangi: “Mengapa saya suka matematika? Apa yang memicu saya untuk belajar matematika? Mengapa ada teman yang tidak suka matematika, dan apa yang membuat mereka suka bidang lain, seperti seni atau sastra? Apakah saya terlahir suka matematika?” Hingga muncul pertanyaan yang lebih besar: apakah semuanya itu benar-benar dipengaruhi oleh bawaan lahir? Dan benarkah ada yang namanya bakat alami? Apakah Albert Einstein, Al Khawarizmi, Newton, Jabbir ibnu Hayyan, Leonardo de Vinci dan tokoh-tokoh jenius lainnya memang dilahirkan dengan kejeniusan alami?
Sering kali kita mendengar tentang orang-orang yang disebut memiliki bakat alami. Yang sejak kecil menunjukkan keterampilan dan kecerdasan yang menyamai atau bahkan melebihi orang dewasa. Orang yang seolah-olah ditakdirkan untuk menjadi jenius dan berbakat. Tahun 2022, Indonesia dikejutkan oleh berita viral seorang anak bernama Caesar Hendrik Meo Tnunay (Nono) dari NTT yang berhasil menjadi juara pertama dalam lomba matematika tingkat dunia dengan keterampilannya yang dapat mengitung bisa melebihi kecepatan kalkulator. Atau Musa bin Laode Hafiz, bocah asal Bangka yang hafal 30 juz Al-Qur’an dan berbagai hadist pada usia 7 tahun. Bahkan ada DeLiang dari Trenggalek dijuluki bocah “ajaib” karena sudah bisa menulis 40 buku dalam bahasa Inggris pada usia 11 tahun bahkan orang dewasa sekalipun sulit untuk menirunya. Atau kita sendiri biasa merasakan saat berada di bangku sekolah atau ditempat kerja, ada teman yang tampaknya sangat menonjol pada keahlian tertentu dibanding kita dan rekan yang lainnya bahkan sangat sulit untuk mengejar atau meniru keahliannya.