Di Balik Peluncuran Edisi Revisi Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” (8): Sang Penoreh Keteladanan

Di balik Peluncuran Edisi Revisi Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” (8)
Peluncuran Edisi Revisi Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur”

NusantaraInsight, Makassar — Terus terang, saya (Radi A.Gany, almarhum) selalu ragu-ragu untuk datang membesuknya saat baru saja menerima SMS dari teman yang memberitahu bahwa sosok legenda bersahaja itu sedang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) RS Awal Bross, meskipun hal itu sudah merupakan keharusan bagi saya sebagai salah seorang murid beliau. Dalam batin berkecamuk, antara memenuhi kewajiban moral saya dengan menyaksikan suatu kenyataan yang terlalu berat saya terima.

Usai magrib, saya dan istri meluncur ke RS Awal Bross. Saya mengalami sedikit hambatan ketika menuju ICU di lantai 2 karena dicegat oleh security dengan alasan orang yang saya akan jenguk itu perlu istirahat. Saya bersikeras dengan alasan yang masuk akalnya, yang pada akhirnya mengencerkan ketegasan security yang berbadan kekar itu. Dia hanya melongo ketika saya menerobos saja masuk.

Dalam keremangan lampu ruang ICU, yang sengaja diredupkan perawat, Saya berdiri tertegun di ujung kakinya, yang disaksikan oleh tiga orang cucu tersayangnya. Salah seorang dari mereka membisik lirih ke telingan eyangnya, memberitahu kalau saya datang. Namun tak ada respon dari beliau. Saya larut dalam kesedihan dan kekhawatiran sang cucu. Saya hanya bisa berdoa pasrah dan membaca Surah Yasin dari I’Phone saya.

BACA JUGA:  KEGELAPAN MEMBERI INSPIRASI

Saya tak kuat menahan keharuan menyaksikan laki-laki pemberani bersahaja yang selama ini saya cintai, idolakan, dan kagumi itu terbaring lemah tak berdaya di depan saya. Sungguh tak kuat saya menahan airmata kesedihan yang memadati rongga dada. Bila tiba saatnya, tak ada satu pun kekuatan yang mampu menahan kehendak-Nya. Firasat dan kehkawatiran itulah yang saat itu menguasai diri saya.

Entah mengapa, tiba-tiba saja beliau membuka mata. Salah seorang cucunya memberitahu kalau saya datang menengoknya. Sungguh saat itu saya menyaksikan seukir senyum yang sangat tulus, yang selalu menjadi ciri khasnya sambil lamat-lamat menyebut nama saya.

Saya hanya bisa mencium tangannya dengan khusuk dan takzim dengan kecamuk kesedihan yang tak tergambarkan. Itulah pertemuan terakhir saya dengannya. Dua hari kemudian, kehawatiran saya itu menjadi kenyataan pahit yang nyaris tak terpikul oleh kami para murid dan seluruh kerabatnya.

‘Unhas berutang budi kepadamu, masyarakat Silawesi Selatan patut mengenangmu. Namamu pantas diabadikan di kampus yang kini menjelma menjadi lembaga pendidikan tinggi ternama di Indonesia, melalui gagasan besarmu menjadi : “Kampus Unhas Prof. Dr. Achmad Amiruddin. Tamalanrea”. Namamu tidak cukup hanya menjadi nama sebuah auditorium, karena engkau adalah mata air ide besar untuk sebuah garba ilmiah yang kini menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan, bahkan masyarakat Indonesia Timur, dan Indonesia pada umumnya. Harapan itulah yang pertama yang langsung dilayangkan kepada sahabat-sahabat terdekat saya, ketika mendengar kepergian beliau untuk selama-lamanya.