NusantaraInsight, Makassar — Usai acara di Kompleks Perumahan Dosen Tamalanrea itu, saya beberapa kali bertemu beliau. Hanya sempat tertunda setelah Ibu Rosani – istrinya – meninggal dunia. Dan, saya juga menyempatkan diri melayat ketika almarhumah dirawat hingga berpulang dan dikebumikan di Jakarta.
Setelah mulai menyusun visi misi, jika tidak salah, saya dua kali bertemu Prof. Amir di kediaman putrinya, dr.Helina di Kompleks IDI Jl. Andi Pangerang Petta Rani, Makassar.
“Prof. saya sedang menyusun visi misi, mohon bantuan sarannya,” ungkap saya.
Prof. Amir berbicara banyak menanggapi keinginan saya menyusun visi misi tersebut. Beliau bercerita masa lalu tentang Unhas. Kata beliau, Unhas harus punya strategi, melihat situasi dan sebagainya, Tetapi kalau ada putusan yang mau diambil jangan ragu-ragu. Beliau memberikan nasihat soal leadership untuk memperkaya visi yang sedang saya susun.
Dari situ, saya melihat dan menyimak sosok Prof. Amir dalam memikirkan tentang bangsa dan khususnya kampus itu tidak pernah ketinggalan. Waktu diskusi di mobil, beliau mengikuti isu-isu terakhir. Isu tentang badan hukum perguruan tinggi dan saya sempat bertanya pada beliau.
“Bagaimana, Prof, kalau Unhas menjadi lembaga yang berbadan hukum?”.
“Wah..itu bagus sekali. Setiap perguruan tinggi itu ada zamannya. Kalau zaman sekarang adalah soal keotonomian, wah itu kita harus ikut. Ketika pemerintah Soeharto, perguruan tinggi dengan keotonomiannya, bukan pada masa itu,” kata Prof. Amir.
Jadi, menurut saya, pemikiran Prof. Amir itu tidak pernah ketinggalan zaman. Beliau tampaknya aktif mengikuti perkembangan.
Melihat respons Prof. Amir, saya kemudian menanyakan kepada dr.Lina, apakah saya boleh datang lagi berbincang-bincang dengan Prof. Amir.
“Datang, Bu Prof. Senang, kalau Prof datang,” sahut Lina.
Ternyata, saya menilai, Prof. Amir itu senang berdiskusi, bertukar pikiran, dan sebagainya. Dan menurut saya, beliau itu selain bakat, ada sesuatu yang hebat sekali di balik ketegasannya. Beliau ingin melihat generasi-generasi berikutnya jauh lebih baik lagi. Ya, termasuk soal gender. Biasanya kalau orang-orang tua seperti beliau, bersifat anti (gender). Ternyata Prof. Amir luar biasa meresponsnya soal kepemimpinan tanpa melihat gender.
Jadi, beliau itu ketika masa hidupnya dan sesudahnya, pemikirannya tidak pernah lenyap “dimakan” zaman.
Yang saya tidak pernah bayangkan, respons Prof.Amir mengenai diskriminasi gender yang di luar prediksi sama sekali. Pandangan ini semakin membuat saya kagum pada sosok seorang Prof.Amir. Jadi, pandangan-pandangannya ini ketika saya kombinasikan dengan yang pernah baca di buku, semakin bermakna dalam memimpin universitas ini.