Di Balik Peluncuran Edisi Revisi Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” (11): Punya Visi, Siapa pun Bisa Memimpin

A.Amiruddin
Para mantan rektor Unhas: Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu, Prof Idrus Paturusi,Prof Rady A Gani dan Prof Basri Hasanuddin

NusantaraInsight, Makassar — Saya (Dwia Aries Tina Pulubuhu) sesungguhnya tidak berada pada era Prof.Dr.A.Amiruddin memimpin Universitas Hasanuddin selama dua periode.

Juga, tidak mengalami masa-masa ketika beliau dua periode memimpin Sulawesi Selatan selaku gubernur. Saya sama sekali belum “mendarat” di Sulawesi Selatan pada kedua era tersebut.

Tetapi, saya hanya mendengar dan membaca buku, kisah tentang kepemimpinannya Kekaguman saya lahir dari cerita para senior. Dari kekaguman tersebut mendorong saya untuk mencari ruang dan kesempatan dapat berinteraksi lebih dekat lagi dengan Prof. Amiruddin.

Dengan kedekatan tersebut saya akan memperoleh langsung dari beliau sendiri bagaimana filosofi kepemimpinannya, tentang ketegasannya, inovasi, dan keberaniannya mengambil keputusan.

Tentang upaya memindahkan kampus dengan ketegasan dan ketegarannya. Bagaimana beliau menyatukan fakultas yang memiliki otonomi masing-masing. Bagaimana beliau menghadapi mahasiswa yang mbalelo.

Namun, saya juga dengar cerita, bagaimana beliau kalau mau membantu orang, mahasiswa yang pintar seperti Pak Hamid Awaluddin yang memiliki potensi dan dikirim belajar ke luar negeri. Bagaimana di rumahnya mahasiswa bisa bebas. Banyak kisah tentang beliau, tetapi saya belum memiliki kesan pribadi yang khusus.

BACA JUGA:  Hujan Semalam, Banjirnya Seharian! Warga Minta Pemerintah Cepat Bertindak

Sebelum berinteraksi dengan beliau, dalam bayangan saya, Prof. Amiruddin itu adalah sosok yang kaku. Yang – apa ya – mungkin “garang” begitu. Ternyata, ketika saya mulai akrab dengan beliau, saat kami (manajemen Unhas) mulai mengikutkannya dalam berbagai aktivitas dalam kapasitas saya sebagai wakil rektor.

Yang terakhir, dan suasananya agak “lengket”, akrab, saat mengundang Prof. Amiruddin ke Yordania pada tahun 2012.

Ketika di Yordania, gambaran saya tentang beliau yang kaku – karena ketegasannya yang dulu itu – jadi sirna. Jadi mencair. Oh.. ternyata, ketegasan dan kedisiplinan tidak mesti membuat seseorang menjadi bersikap yang kaku, tidak ramah. Berbeda sekali. Jadi, saya tambah kagum waktu bertemu (di Yordania) dengan beliau. Dan, sangat humble-nya itu lho.

Sebagai mantan gubernur, mantan Wakil Ketua MPR, mantan rektor, tidak ada sedikit pun tampak dan kesan post power syndrom-nya. Tidak ada sama sekali. Selama dalam perjalanan ke Yordania, saya selalu dekat dengan beliau.

Saya biasa menyapa,” Bagaimana, Prof?”. Saya bertanya dan dengan rendah hatinya selalu menjawab dengan sangat wisely (dengan arif) dan penuh kesederhanaan. Itulah yang membuat saya kian kagum pada beliau. Akhirnya, bayangan saya tentang beliau berubah total.