Oleh M.Dahlan Abubakar
NusantaraInsight, Makassar — Pernah dua orang teman sastrawan mengajukan pertanyaan yang sama kepada saya pada dua momen berbeda.
“Bagaimana cara Anda menulis, kok begitu cepat menghasilkan sebuah tulisan,” tanya seorang teman yang terkenal sebagai sastrawan dan aktif menulis puisi ,menjelang diskusi buku salah seorang penulis Makassar di Universitas Pancasakti Makassar, 6 Januari 2025 sore.
Ketika berlangsung diskusi buku “Mengejar Tapak Allah” karya Syahriar Tato di Rumah Kopi Memory RR Jl. Wijayakusuma Banta-Bantaeng Makassar 9 Januari 2025, seorang sastrawan lainnya mendekati saya kemudian berbisik.
“Bagaimana caranya menulis begitu cepat sudah bisa dibaca di media social?,” tanya teman yang kemudian tampil membacakan puisi dalam bahasa Makassar pada acara tersebut.
Menulis bagi saya sebenarnya adalah sesuatu yang mengalir begitu saja. Biasanya objek menulis bersumber dari fenomena kehidupan yang tampak ketika mengemudi mobil menuju kampus atau ke bagian pusat kota. Banyak membaca buku-buku jurnalistik dan yang lainnya menjadi alat bantu kebiasaan menulis ini. Mungkin 1/5 dari total jumlah koleksi saya di perpustakaan berisi buku jurnalistik, membuat saya kerap mudah melihat sesuatu yang biasa menjadi tidak biasa (luar biasa) bila ditulis. Itu sangat terbantu oleh dukungan referensial dari dunia maya yang memungkinkan seorang penulis segera menemukan informasi bantu untuk membangun tulisannya.
Seorang teman Angkatan (1972) Fakultas Sastra Unhas yang kini berdomisili di Surabaya dan menjadi sobat kental saya lantaran sama-sama “gila” mengoleksi dan membaca buku , pernah menulis kalimat di akun facebooknya yang hingga kini membuat saya bingung.
“Anda memiliki gaya menulis yang unik,” katanya beberapa waktu yang lalu setelah sebagian besar buku karya saya selalu dihadiahkan kepadanya.
Teman itu tidak pernah menjelaskan atau juga mungkin sulit menarasikan dalam kata dan kalimat dengan istilah yang disebutnya “unik” itu. Kalau kemudian teman itu susah mendeskripsikan kata hatinya, mungkin saja wajar karena itu hanya ada dalam ‘rasa’ belaka. Saya menduga, komentar teman tersebut muncul karena di dalam menulis saya kerap mengombinasikan gaya penulisan karya jurnalisme dengan nuansa sastra yang oleh banyak pakar jurnalisme menyebutnya “literary journalism” (jurnalisme sastra). Itu juga yang saya gunakan dalam menulis buku bergenre biografi.
Di balik buku-buku itu banyak pelajaran yang saya petik. Termasuk dari karya-karya jurnalistik para wartawan terkenal. Yang paling membantu adalah kemampuan nurani saya lebih sensitif dan peka melihat suatu persoalan yang mungkin oleh orang lain dianggap biasa. Kepekaan melihat sesuatu sebenarnya menjadi prinsip utama bagi seorang wartawan. Kepekaan ini sangat penting bagi para wartawan dalam mengelaborasi (penggarapan secara tekun dan cermat) narasi atau wacana yang disampaikan oleh narasumber. Misalnya, dalam ceramah atau paparan seorang pejabat. Kemampuan mengelaborasi ini menempatkan sang wartawan tersebut akan tampil menulis berita tersebut dari sisi yang lain dan berbeda dengan kebanyakan wartawan yang hadir meliput pada kegiatan yang sama.