Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
NusantaraInsight, Makassar — Sebelum diberlakukannya ketentuan wajib helem, para pengendara sepeda motor leluasa singgah mengambil kenalan, tetangga, kerabat, atau saudaranya bila bertemu di jalan raya. Mereka yang tengah naik sepeda motor akan singgah, menawarkan boncengan, bila melihat seseorang yang dikenal tengah berdiri di pinggir jalan.
Namun, begitu kebijakan wajib helem diterapkan secara ketat, sikap murah hati dan mau menolong, tak bisa lagi dilakukan, bila tidak membawa helm cadangan untuk orang yang akan dibonceng.
Pemberlakuan wajib helem di Makassar, yang mulai muncul di paruh kedua tahun 80-an, tidak dilakukan secara menyeluruh tapi bertahap. Mula-mula, hanya di jalur jalan tertentu saja, yang disebut kawasan wajib helem. Wajib helem di masa awal ini, hanya ditujukan kepada pengendara, nanti belakangan diberlakukan pula kepada orang yang dibonceng. Alasannya, risiko kecelakaan bisa terjadi, baik terhadap yang membonceng maupun yang dibonceng.
Ketentuan ini dianggap membatasi ruang gerak pengendara sepeda motor. Juga membuat mereka tidak bisa menunjukkan kepedulian dan solidaritas sosial bagi sesama, yang butuh angkutan kendaraan. Protes terhadap helem kian kencang, setelah ada kasus, orang kecelakaan dan helemnya pecah. Dalam kasus seperti ini, argumem yang menyatakan helem sebagai pelindung kepala tidak terbukti. Helem di era itu, memang belum standar. Kebanyakan masih berupa helem berbahan plastik, merek Kiwi, yang dikenal dengan sebutan helem proyek. Mereka menggunakan helem sekadarnya saja, demi menghindari razia atau tilang oleh polisi lalu lintas (Polantas). Belum ada ketentuan harus memakai helem dengan kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI).
Isu-isu seputar penolakan kebijakan wajib helem semakin lantang setelah berembus kabar bahwa pemilik pabrik helem masih punya hubungan keluarga dengan Presiden Soeharto, sosok yang identik dengan rezim Orba. Kebencian masyarakat terhadap politik represif Orba, yang mengekang kebebasan, seolah mendapat amunisinya. Kasus demonstrasi anti-helem merupakan contoh akumulasi persoalan dan terkonsentrasinya kelompok massa. M. Kausar Bailusy (2000), akademisi Unhas mengatakan, kelompok massa itu merupakan anggota masyarakat dari berbagai kalangan pemilik dan pengguna kendaraan bermotor yang merasa terbebani dengan membeli dan menggunakan helem. Kelompok massa ini bukan organisasi formal, melainkan terbentuk secara tiba-tiba dan memiliki dinamika politik yang sangat tinggi. Pada saat bersamaan, kelompok anomik ini spontan menyampaikan kepentingan mereka dalam bentuk demonstrasi dan kerusuhan.