Oleh: Fadli Andi Natsif (Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar)
NusantaraInsight, Sinjai — Jam sudah menunjukkan kurang lebih pukul 8.30 pagi. Mobil yang membawa kami ke lokasi untuk menyeberang ke Pulau Sembilan tiba di Pelabuhan Cappa Ujung Sinjai Utara. Pagi itu masih kelihatan sunyi, hanya beberapa kapal yang berjejer siap menyeberangkan warga yang akan menuju ke Pulau Sembilan.
Kapal yang kami tumpangi tidak terlalu penuh penumpang. Memang hanya diperuntukkan rombongan dosen dan mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.
Rombongan ini akan melakukan penyuluhan sekaligus sosialisasi Prodi HES di salah satu deretan Pulau Sembilan tersebut.
Cerita tentang Pulau Sembilan di Sinjai Utara sudah sering saya dengar ketika berkunjung ke Lappa menikmati kuliner berbagai ikan segar di tempat pelelangan Sinjai Utara itu. Sebelumnya terlintas dipikiran, Pulau Sembilan itu salah satu nama pulau yang ada di Sinjai Utara. Tetapi begitu menikmati perjalanan kapal yang membawa kami ke lokasi rencana penyuluhan dilakukan, baru saya tahu bahwa Pulau Sembilan itu merupakan deretan pulau yang jumlahnya sembilan yang posisinya berada di Teluk Bone.
Kami sangat menikmati perjalananan dengan hembusan angin dan desiran ombak. Sembari mendengar cerita salah seorang tokoh masyarakat yang menyertai perjalanan kami. Haji Muhammad Sadar, demikian nama tokoh tersebut. Kebetulan beliau orang tua salah saeorang mahasiswa kami dan pemilik kapal yang membawa kami ke Pulau Sembilan tersebut.
Sebelum pertengahan jalan kapal sampai ke tujuan, hati kami sedikit cemas karena ombak agak kencang dan sedikit gerimis. Melihat suasana ketegangan itu Pa Aji Sadar (demikian kami memanggil beliau), tersenyum seakan ingin menenangkan kami.
Menurutnya memang kalau melewati area ini yang disebut muara, kapal selalu dihadang oleh kencangnya ombak. Tapi kami sedikit tenang karena hanya berlangsung sekitar 5 menit saja. Ibarat menurut saya kalau kita naik pesawat udara inilah yang disebut turbulensi.
“Biasanya kalau warga setempat melewati area ini melakukan kegiatan semacam melempar beberapa telur ke laut,” begitu penjelasan H. Sadar sembari tersenyum kepada kami.
“Oh itu semacam prosesi tolak bala, yah Pa Aji,” saya menimpali secara spontan penjelasannya. Beliau hanya mengangguk sembari tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata.
Tidak terasa perjalanan kami sudah kurang lebih empat puluh menit. Dari kejauhan sudah kelihatan deretan pulau. Pa Aji kemudian menjelaskan sambil menunjuk ke arah deretan pulau pulau yang sudah mulai kelihatan. “Itulah sana yang disebut Pulau Sembilan,”. Tanpa diminta beliau menyebut satu satu pulau tersebut. Mulai dari Pulau Kanalosatu, Kanalodua, Larea rea, Katindoang, Batang Lampe, Kodingare, Kambuno, Liang liang dan Pulau Burungloe.