NusantaraInsight, Makassar — Direktur Kebudayaan (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid, Ph.D. mengharapkan Universitas Hasanuddin menjadi jembatan disiplin-disiplin yang ada untuk menangani kekayaan maritim Indonesia yang tidak terurus.
“Kita memiliki magrove (bakau) dan hutan yang kaya, tetapi ditebang untuk kepentingan ekonomi, diambil kayunya untuk dibuat apa. Kekayaan yang sesungguhnya kita miliki tidak diurus dengan baik. Di sini kebudayaan memegang peran penting,” ujar Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, saat membawakan kuliah umum di Auditorium Prof.A.Amiruddin Kampus Unhas Tamalanrea, Senin (7/10/2024).
Dalam kuliah umumnya berjudul “Reimajinasi Indonesia”, lulusan National University of Singaoura 2014 itu menegaskan, laut bukanlah pemisah daratan, melainkan memfasilitasi keterhubungan berbagai kebutuhan Indonesia sebagai rumah bagi flora dan fauna yang endemik. Desentralisasi yang diterapkan bisa menghegemonik jika berpengaruh pada wilayah sekitarnya. Rizoma (batang tumbuhan yang tumbuh mendatar di bawah permukaan tanah) akan menemukan banyak variasi dan realitas.
Perlu ada langkah dalam dunia pendidikan, kata Hilmar Farid, untuk menghidupkan kembali jejaring maritim, bukan secara ‘artifisial’, melainkan sesuatu yang substansial. Kebudayaan maritim sebagai hasil dan sumber sekarang sudah tidak ada lagi. Perahu-perahu sudah tidak ada yang menggunakan layar karena sudah bermesin. Pelayaran tradisional menuntut pengetahuan tersendiri. Ketika yang asing masuk, yang lokal hilang.
“Kebudayaan maritim sebagai hasil dan sumber sekaligus. Sekarang ini sudah banyak praktik yang ditinggalkan. Misalnya berlayar, hampir tidak ada yang menggunakan layar, semuanya menggunakan mesin. Sebenarnya yang kita lakukan bahwa pelayaran tradisional itu memerlukan pengetahuan yang sangat detil mengenai laut. Itu yang tidak ada sekarang,” ujar Hilmar Farid dalam kuliah umum yang dipandu Direktur Hubungan Alumni dan Pengembangan Dana Abadi Unhas Dr.Andi Muh.Akhmar, M.Hum.
Pria yang lahir di Bonn, Jerman Barat 8 Maret 1968 ini menyebutkan, keanekaragaman potensi Indonesia ini sekitar 70% ada di wilayah timur. Di wilayah ini memiliki kepadatan linguistik (kebahasaan) yang mencapai sekitar 400 bahasa.
“Kita mempelajari bahasa daerah akan memberikan sesuatu yang berbeda dan unik terhadap tradisi yang terus berkembang. Apa yang dipraktikkan sekarang berbeda dengan lima puluh tahun yang lalu. Secara lingustik kita dapat temukan yang berbeda dari bahasa. Bahasa sains modern tidak bisa memahami kekayaan yang besar ini. Ini menjadi model reimajinasi,” ujar lelaki yang pernah mendirikan Institut Sejarah Sosial Indonesia tahun 2002 tersebut.