Oleh: Haekal Rumaday (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Filsafat dan politik, UIN Alauddin, Makassar)
NusantaraInsight, Makassar — Sering kali kita mendapati atau mendengar bahwa dalam kehidupan bersaudara, ada sebagian saudara yang merasa diperlakukan tidak adil. Ya, mungkin itulah yang saya saksikan dalam masa kehidupan kanak-kanak saya.
Saudara sekaligus kakak saya mendapatkan perlakuan dari ayah saya, yang boleh dikata cukup ekstrim. Misalnya, dia dipukul dengan menggunakan batang pohon hingga lengan kanannya berdarah. Sebagai adik, saya cukup sedih sekaligus ngilu melihat setiap perlakuan ayah saya itu.
Sebagai seorang anak kecil yang belum mampu memahami dorongan di balik tindakan ekstrim itu, saya hanya bisa kecewa. Dalam hati, saya mengutuk perbuatan itu sebagai tindakan yang kejam.
Beranjak usia dewasa, kala saya berusia 18 tahun, suasana berubah. Apalagi setelah ayah saya meninggal pada tahun 2017.
Tahun 2022, merupakan tahun kelulusan saya dari SMA . Saya alumni Madrasah Aliyah (MA) Alhidayah, Makassar. Saya sempat berdiskusi dengan kakak mengenai langkah setelah lulus SMA.
Kakak penuh percaya diri mengatakan, urus berkas kuliah dan lanjutlah studi ke S1. Soal biaya, insya Allah nanti kita usahakan.
Ya Itulah kalimat penuh percaya diri dari mulut seseorang yang pada masa kanak-kanaknya mendapatkan perlakuan tak adil dari ayahnya sendiri.
Kadang terlintas tanya di benak saya, apakah kakak tak menaruh rasa dendam atas semua peristiwa di masa lalu? Tapi buru-buru asumsi saya itu saya tepis.
Pikiran saya yang liar juga sempat melontar tanya, memang setelah lulus S1, apa kamu yakin saya masih bisa membantumu suatu ketika atau malah sebaliknya saya berkhianat?
Mulai dari biaya uang kuliah tunggal (UKT) hingga biaya lainnya dia selalu yang penuhi.
Suatu ketika, saya sudah merasa tidak nyaman dengan perlakuan baiknya selama ini,. Sebab, dia hanya kakak dan saya adiknya. Beda kalau dia merupakan orangtua, tanggung jawabnya memang untuk anaknya.
Apalagi, menurut saya, kepentingan pribadinya lebih penting ketimbang membiayai saya. Bukankah perlakuan tak adil ayah semasa dia masih remaja cukup untuk membuat dia sadar bahwa seharusnya dia tak mengambil tanggung jawab atas kuliah saya? Dan bukankah semua biaya semasa dia kuliah, dia sendiri yang menanggungnya?
Pada suatu waktu, saya coba tuk bercerita mengenai semua pertanyaan di kepala saya itu. Saya membuka obrolan dengan pertanyaan sederhana.
Apa yang memotivasi kakak untuk membiayai saya kuliah? Bukankah semua peristiwa di masa lalu sungguh tidak adil bagi kakak? Bukankah orang-orang yang ayah banggakan selama ini bahkan tak peduli dengan kondisi saya, apalagi kakak sendiri?