Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
NusantaraInsight, Makassar — Bisa menulis puisi lagi. Duh, senangnya. Setelah lama vakum, mati karya, tak ada ide mengalir, tak ada puisi lahir. Senang bukan karena sekadar bisa menulis.
Namun, lebih dari itu, bisa merefleksikan berbagai persoalan diri dan lingkungan sekitar lewat larik-larik puisi. Walaupun cuma beberapa baris.
Lewat puisi, saya bisa lebih memaknai hidup, sekaligus memberi makna pada kehidupan.
Menulis puisi bagi saya sesungguhnya merupakan aktivitas lama. Sejak masih di bangku Sekolah Dasar.
Kegairahan menulis puisi itu bertumbuh ketika saya bertemu seorang teman berdarah Ambon-Padang. Teman inilah yang jadi partner diskusi saya di awal proses belajar menulis puisi.
Ketika itu, kami sering berburu kosa kata baru pada kamus sederhana yang dia punya. Maklum, di paruh pertama 80-an itu, fasilitas masih sangat serba terbatas.
Beda dengan saat ini. Kita begitu mudahnya bisa mendapatkan kamus dan berbagai referensi lainnya di toko buku atau perpustakaan.
Mau yang lebih praktis lagi?Tanya saja ke “Paman Google”. Tinggal memasukan kata kunci, lalu klik, muncullah kata yang dicari itu.
“Kepenyairan” saya berlanjut dan semakin terasah ketika bersekolah di SMP. Aneka lomba menulis puisi dan lomba membaca puisi dijajal. Alhamdulillah, beberapa di antaranya menempatkan saya sebagai pemenang.
Begitu menapakkan kaki di SMA, kegandrungan menulis puisi semakin terlecut, lantaran ada wadah untuk mengekspresikan diri pada kotak kayu berukuran sekira 1×2 meter.
Kami menyebutnya majalah dinding. Di situlah saya menumpahkan seluruh darah muda kreativitas: menulis dan gambar. Tulisan dan gambar-gambar saya selalu muncul di majalah berkayu yang kami kelola itu.
Saya terus berkarya, menuangkan ide dan gagasan yang datang kapan saja. Makanya, saya kadang menulis puisi pada potongan-potongan kertas yang dipungut di jalan.
Ada yang saya tulis di atas sobekan kertas koran, di belakang dos pembungkus rokok, atau pada kertas-kertas yang tak jelas entah bekas pembungkus apa.
Puisi-puisi itu sempat saya ketik dengan mesin tik pinjaman. Saya kemudian memberi judul kumpulan puisi itu: Kilas Bias Anak Manusia, 1983-1993.
Setelah itu, tak banyak lagi puisi ditulis. Mampet. Kalaupun ada, bagai air yang menetes satu-satu dari mulut keran.
Hingga tibalah era Facebook. Foto-foto yang diunggah dan status-status yang ditulis teman di akunnya seolah jadi pemantik ide. Lewat jejaring sosial itulah saya menemukan semangat menulis puisi lagi.