NusantaraInsight, Makassar — “Kalau bicara tentang bahasa dan sastra Makassar, saya selalu bersemangat,” kata Prof Dr Kembong Daeng, M.Hum, Selasa, 31 Oktober 2023.
Prof Kembong Daeng merupakan Guru Besar Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM). Dia menyampaikan hal itu di hadapan guru-guru dan orang tua siswa SD Inpres Cilallang, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar.
Kembong Daeng diundang oleh Kepala UPT SPF SD Inpres Cilallang, Dra Hj Hasniah, dalam rangka Bulan Bahasa, yang diperingati setiap bulan Oktober. SD Inpres Cilallang, tengah mengembangkan program inovasi PUSAKA, akronim dari pelestarian budaya, bahasa, keaksaraan, dan sastra daerah. Sehingga butuh penguatan dalam pelaksanaannya.
Penulis buku muatan lokal bahasa Makassar itu, sebelum melanjutkan pemaparannya, menyampaikan permohonan maaf. Katanya, “Maaf kalau ibu-ibu selalu direpotkan dengan tugas bahasa daerah. Karena itu bukan hanya bermanfaat bagi anak-anak, tapi juga akan memaksa ibu-ibu untuk belajar.”
Disampaikan, untuk orang tua yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya, akan menjadikan bahasa daerah, semacam nostalgia mengingat suasana di kampung. Dimaklumi, banyak orang yang bukan berlatar belakang suku Makassar, kalau pakai bahasa daerah, kadang dicampur. Itu bisa dipahami karena situasinya tidak formal.
“Dengan tetap berbahasa daerah, menandakan bahwa kita masih bangga dengan bahasa Makassar, bahasa Bugis, atau bahasa daerah yang kita gunakan,” terangnya.
Penulis buku “Pappilajarang Basa Mangkasarak” itu lalu bertanya kepada orangtua dan guru. “Apakah bahasa itu merupakan pusaka, merupakan sossorang?”
Jawabannya, jelas: Ya. Selama ini, menurutnya, yang dianggap pusaka hanya tanah, tedong, atau harta bendawi. Namun, sesungguhnya bahasa dan sastra juga merupakan pusaka.
Itu jadi tanggung jawab penuturnya untuk menggunakannya, untuk mempertahankannya. Jika kita orang Makassar, maka gunakan bahasa Makassar. Begitupun dengan orang Bugis, orang Toraja, Mandar, dan suku lainnya.
Dia mengaku prihatin, karena makin hari makin terkikis bahasa daerah kita. Sebagai orang tua, memang kita bangga menggunakan bahasa kita. Namun, bagi anak-anak kita, sudah jarang menggunakan bahasa daerah.
“Kalau hilang bahasa, hilang aksara, maka jati diri kita juga akan hilang,” imbuhnya.
Karena itu, bahasa daerah harus digunakan di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Kalau kita punya program PUSAKA di sekolah maka perlu dibarengi dengan semangat yang sama dari orang tua. Dalam pelaksanaannya, kita mesti jadi teladan untuk program ini.