SEMESTA JURNALISME: DARI GUTENBERG HINGGA ZUCKERBERG

Artinya, dalam buku ini ada instruksi atau panduan praktis yang dapat membantu pembaca memahami dan menguasai pengetahuan atau keterampilan di bidang jurnalistik.

Dengan judul “Mengenal Dunia Jurnalistik: Dari Ide ke Berita”, penulis sesungguhnya tak hanya memperkenalkan dunia jurnalistik dalam artian aktivitas dan profesi semata, tapi juga menghadirkan lanskap semesta jurnalisme.

Bahwa sebelum menjadi berita, ada ide liputan, apa yang menjadi angel-nya, siapa saja yang berkompeten untuk diwawancarai, apa judulnya, dan bagaimana lead-nya. Menurut penulis, jurnalistik itu merupakan seni mengemas dan menyampaikan informasi atau berita.

Ide berita hanya ada bila jurnalisnya selalu memperbarui (update) terus-menerus informasi, tahu peristiwa aktual, dan bagaimana meresponsnya. Dia mesti punya feeling dan insting jurnalistik untuk mengangkat dan menulis berita itu, bukan cuma karena ‘kebetulan’ bekerja sebagai wartawan atau sekadar penugasan.

Namun, juga didorong oleh tanggung jawab, kepedulian, bahkan keberpihakan pada isu-isu publik, terutama persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi rasial, pemarginalan kelompok rentan, eksploitasi dan perlindungan anak, isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, serta problem krusial lainnya.

BACA JUGA:  Mallarangang Daeng Tutu: Dari Takalar Untuk Sulawesi Selatan

Pada tataran inilah, dia bisa membuat framing, guna membangun opini publik.

Tentu saja, 9 elemen jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosentiel, yang ditulis dalam buku “The Elements of Journalism” (2001), perlu selalu jadi pedoman.

Bahwa jurnalisme harus berusaha untuk menyajikan informasi yang benar dan akurat. Loyalitas dan prioritas jurnalisme itu pada warga. Jurnalisme mesti memverifikasi setiap informasi sebelum dipublikasikan, dan harus independen dari pengaruh eksternal, termasuk penguasa.

Sebab jurnalisme justru harus menjadi pemantau kekuasaan. Juga mesti menyediakan forum warga dan menjadi ruang bagi warga untuk berbagi pendapat tentang apa yang menjadi kebutuhannya. Dalam semua proses jurnalisme itu, penting dijunjung tinggi keterbukaan dan akuntabilitas.

Seorang jurnalis mesti punya wawasan untuk mengembangkan ide itu dalam pertanyaan-pertanyaan kritis dan mendalam (indepth) kepada narasumber yang akan diwawancarai. Sehingga, selain dibutuhkan wawasan, juga networking (jejaring) ke tokoh, pakar, pejabat, politisi, aktivis, dan berbagai pihak yang relevan dan dapat mendukung kerja-kerja jurnalistiknya.

Semua ini mesti dirawat sebagai aset bagi dirinya, bagi institusinya, dan bagi profesinya. Ini semua merupakan data base, sebagai referensi, sebagai ensiklopedia publik dalam semesta jurnalisme. (*)