Facebook (FB) ditemukan oleh Mark Zuckerberg bersama Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes, di tahun 2004. Hanya berjarak setahun (2005), postingan pertama YouTube diunggah, menandai hadirnya situs berbagi video buatan Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim itu.
Setahun kemudian, tepatnya pada 2006, Twitter (kini X) dirilis ke publik, oleh penemunya Jack Dorsey, Biz Stone, Evan Williams, dan Noah Glass. Setelah itu Instagram (IG) didirikan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger, di tahun 2010.
Penemuan ragam media sosial ini tak terbendung, termasuk kehadiran TikTok, yang di negara asalnya diberi nama Douvin. TikTok pertama kali dirilis tahun 2016 oleh perusahaan teknologi Tiongkok, ByteDance, yang pendirinya adalah Zhang Yiming.
Persaingan di ranah teknologi komunikasi informasi ini begitu ketat. Siapa yang tidak inovatif dan adaptif terhadap kemajuan maka akan kalah dan ditinggalkan.
WhatsApp, yang ditemukan oleh Jan Koum dan Brian Acton, pada 2009, maupun Telegram, yang merupakan temuan Pavel Durov dan Nikolai Durof di tahun 2013, hanyalah beberapa yang populer kita gunakan.
Sebab, ada banyak aplikasi pesan instan yang bisa jadi alternatif sumber informasi, secara reel time, on the spot, anytime, anywhere, dengan tingkat pengaruh yang kuat: viral dan trending.
Di Tanah Air, sejarah pers modern dan jurnalisme sudah ada sejak masa kolonial. Para jurnalis atau wartawan punya peran besar dalam menghadirkan pencerahan bagi masyarakat di Nusantara.
Semangat nasionalisme ikut dipupuk dan dibentuk oleh kehadiran media massa, kala itu. Media massa menjadi alat perjuangan mengobarkan semangat anti-kolonialisme. Walau, pada awalnya, hanya ada terbitan media yang didominasi bahasa Belanda, di antaranya Bataviasche Nouvelles (1744), dan Vendu Niews (1776).
Belakangan, pers pribumi yang berbahasa Melayu bermunculan, seperti Bianglala (1854) dan Bromartani (1855).
Tonggak penting pers pergerakan, ditandai dengan hadirnya Medan Prijaji (1907), yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo.
Medan Prijaji yang berani mengeritik penguasa kolonial, dan bersuara keras sebagai upaya kontrol terhadap otoritas negara, bisa diklaim sebagai penerapan jurnalisme advokasi yang bermaksud bukan saja untuk dan demi mengubah kebijakan tapi juga memperjuangkan kemerdekaan.
Praktik jurnalisme di Indonesia, selalu terhubung dengan periode penting perjalanan bangsa dan negara. Jurnalis dan wartawan, bukan saja menjadi saksi sejarah, melainkan bagian dari sejarah itu sendiri.
Misalnya, pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan RI, pada 17 Agustus 1945, disiarkan melalui Radio Hoso Kyoko, yang kemudian menjadi Radio Republik Indonesia (RRI).