Oleh: Moh Haekal Rumaday (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)
NusantaraInsight, Makassar — Semasa kecil kita selalu punya ambisi yang besar dalam mencapai mimpi dan cita-cita. Dan tentu kita punya saingan.
Ya saya punya rival semenjak duduk di bangku MIS (Madrasah Ibtidaiyah Sera). Kami berdua tak mau mengalah satu sama lain dalam perolehan juara kelas. Di antara beberapa siswa/siswi di kelas, hanya saya dan rivalkulah yang terus bersaing memperoleh peringkat 1.
Setiap semester, kami bersaing. Dapat dipastikan, peringkat satunya, hanya saya atau rivalku itu.
Beruntungnya, saya menang telak ketika hasil ujian kelulusan. Ya, saya keluar sebagai Juara 1 umum di sekolah kami.
Saya ingat, suatu hari, kami berbincang persolan ini. Dia dengan penuh percaya diri berkata, “Seharunya saya yang juara 1.”
Saya dengan polos bertanya, “Apa alasannya?”
Dia tegas menjawab, “Hey demi menang dari kau, saya hampir setiap hari belajar. Semua buku catatan selama kelas 6 sudah saya tamatkan. Tapi masih saja juara 2.”
Saya dengan sedikit senyum menjawab, “Mungkin saya hoki kali hehe.” Kami pun tertawa.
Persaingan kami masih terus berlanjut hingga kami duduk di MTs (Madrasah Tsanawiyah). Ketika kami di kelas 2 MTs 4 Seram Bagian Timur, kami kembali bersaing untuk menjadi ketua OSIS. Semua usaha kami lakukan, mulai dari merebut hati teman-teman untuk memperoleh suara hingga mempersiapkan visi misi terbaik kami.
Tibalah hari yang dinantikan. Di depan Wakasek, pembina sekolah, para guru dan teman-teman kelas lainnya, kami harus menyelesaikan visi misi terbaik. Kandidat kali ini ada 3 orang, masing-masing dengan wakilnya Lagi-lagi saya dan rivalku bertarung, berebut posisi sebagai ketua.
Acara berjalan sesuai yang diharapkan. Akhirnya saya keluar sebagai pemenang, terpilih sebagai ketua OSIS. Untuk kesekian kali, rivalku harus menerima kenyataan. Pasca pemilihan, dia menjadi sekretaris OSIS-ku
Setelah terpilih, penyusunan struktur organisasi dilakukan di rumahku, ditemani pembina OSIS dan jajaran OSIS,. Momen itu disaksikan langsung oleh bapakku.
Bapak berpesan kepada pembina OSIS, “Pak, tolong didik Haekal ya.” Pembina OSIS menjawab, “Baik, Pak. Itu sudah menjadi tugasku dan Haekal sudah ku anggap sebagai adek sendiri.”
Memang seakrab itu aku dengan Pak guru, yang menjadi pembina OSIS kami.
Semua program kerja yang disusun berjalan sesuai yang diharapkan. Ada program mengaji setiap Jumat disertai dengan kultum dan kegiatan lainnya.
Alhamdulillah program kerjaku berjalan lancar. Rupanya, banyak teman merasa terbantu. Bila dahulu mereka minder berbicara di depan orang banyak, kini tidak lagi. Mereka mulai percaya diri.