Rahman Rumaday
(Founder K-Apel)
NusantaraInsight, Jakarta — Bertemu dengan seorang sahabat penyair dari Lampung di Hotel Yasmin Kota Tangerang. Pertemuan ini seakan menghidupkan kembali suasana keindahan puisi di mana ia biasa lukiskan untuk saya melalui WA, Namanya Cucu Mulyono ia sering kali mengukir bait-bait puisi penuh indah tentang sebuah tagline yang sudah ter-branding pada saya tagline itu adalah #BerbagiItuCinta. Puisi-puisinya menggambarkan jejak berbagi cinta dengan pelangi kata yang memesona.
Pada momen pertemuan kami itu, saya memberikan padanya sebuah karya yang telah melukiskan jejak hidup saya secara mendalam sebuah kisah yang berkisah tentang perjalanan saya mulai dari dapat jodoh hingga jodoh yang ditaqdirkan Allah pada saya pergi untuk selama-lamanya mendahului saya.
Saya menyerahkan buku “Maharku Pedang dan Kain Kafan,” yang terbagi menjadi Jilid 1 dan Jilid 2. Kedua buku tersebut mengisahkan sebuah kisah yang diwarnai dengan permintaan mahar berupa pedang dan kain kafan mahar yang menurut sebagian besar orang yang mendengar kisah nyata tersebut menganggapnya satu permintaan yang aneh tidak ada dalam anjuran budaya tertentu bahkan dalam Al-qur’an dan hadits pun tidak ada anjuran mengenai hal tersebut.
Mungkin itu sesuatu yang langkah dan belum pernah ditemukan dibelahan bumi ini bahwa seorang wanita meminta mahar berupa Pedang dan Kain Kafan hanya terjadi pada kisah Heliati Eka Sosilowati yang meminta mahar pada saya sebagai calon suaminya waktu itu yaitu Pedang Dan Kain Kafan dan mahar tersebut terucap dalam ijab qabul pada tanggal 23 November 2012 di grand centul bogor.
Namun, kisah Almarhumah istri saya Heliati Eka Susilowati bukanlah satu-satunya yang meminta mahar yang tidak lazim di masyarakat indonesia. Marilah kita tengok sejenak bagaimana kisah para sahabat Nabi Muhammad Rasulullah SAW seperti seorang perempuan dari Bani Fazarah yang menikah dengan mahar sejumput pasang sandal.
Juga terjadi dengan Ali bin Abi Thalib pada Fatima, putri tercinta Rasulullah SAW, menjadi bagian dari histori dengan mahar berupa baju perang milik Ali Bin Abi Thalib yang terbuat dari besi.
Sebuah mahar yang tak hanya bernilai materi, melainkan penuh dengan makna keperkasaan dan ketabahan.
Sementara, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim menorehkan kisah indah mereka dengan mahar yang sepertinya tidak dapat diukur dengan harta dunia. Mahar Abu Thalhah adalah keislamannya sendiri, sebuah pemberian yang tak ternilai bagi Ummu Sulaim.
Dalam alun kisah-kisah ini, terukir keajaiban cinta yang tak terbatas oleh materi semata. Setiap mahar menjadi cerminan nilai dan makna yang lebih dalam, menciptakan jejak-jejak yang abadi dalam lembaran sejarah cinta seperti halnya kisah Heliati Eka Susilowati yang meminta mahar pedang dan kain kafan yang terukir dalam buku jilid 1 dan jilid 2 dengan judul “Maharku Pedang dan Kain Kafan”