Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Di sebuah lembah subur di Tana Toraja, tumbuhlah sebuah tanaman kecil dengan buah merah menyala yang menggantung penuh percaya diri. Dialah Cabe Katokkon, si kecil mungil yang namanya dikenal hingga jauh ke luar negeri. Orang-orang menyebutnya mutiara pedas Sulawesi Selatan. Jangan pernah menyepelekannya—sekali gigit, lidah bisa terbakar, wajah memerah, keringat bercucuran. Katokkon menyimpan tenaga pedas yang dua puluh kali lebih kuat dari cabai biasa. Namun anehnya, meski sudah tahu betapa menyiksanya rasa itu, banyak orang justru kembali mencarinya.
“Kenapa kalian tetap mencariku?” tanya Katokkon suatu hari pada para petani yang memanennya. “Bukankah kalian tahu aku bisa membuat lidah terbakar, perut bergolak, bahkan air mata jatuh tanpa diminta?”
Seorang ibu tua tersenyum sambil menaruhnya di keranjang. “Nak Katokkon, pedasmu memang seperti benci tapi rindu. Kami sudah tahu engkau menyiksa, tapi justru karena itu kami ingin terus merasakanmu. Kau menghadirkan gairah, membuat makanan sederhana jadi luar biasa.”
Katokkon terdiam. Ia sadar, rasa pedasnya bukanlah kutukan. Itu adalah identitas, takdir, sekaligus pesonanya.
Nun jauh di sisi lain kebun, di bawah teduhnya pohon tinggi, tumbuhlah Pisang Cavendis. Tubuhnya ramping dengan kulit kuning mulus, daging lembut, manis dan menyejukkan. Berbeda sekali dengan Katokkon yang penuh gejolak, Cavendis tenang, penyabar, dan selalu menjadi penutup yang menenangkan setelah segala rasa kacau di mulut.
Ketika orang-orang baru saja kepedasan makan sambal Katokkon, mereka segera mencari Cavendis. Begitu digigit, manis lembutnya menyapu pedas, meredam panas, mengembalikan keseimbangan lidah.
“Mungkin inilah tugasku di dunia,” gumam Cavendis. “Menjadi pereda rindu setelah pedasnya Katokkon. Ia membakar, aku menyejukkan. Ia membuat orang menangis, aku membuat mereka tersenyum kembali.”
Meski berbeda watak, keduanya tidak bisa dipisahkan. Katokkon memberi rasa, Cavendis memberi penawar. Seperti dua sisi cinta: ada gejolak yang membakar, ada ketenangan yang mendamaikan.
Suatu hari, kedua tanaman itu saling berbincang lewat hembusan angin.
“Hei Cavendis,” kata Katokkon dengan nada menggoda, “kau selalu datang setelahku. Apa kau tidak bosan hanya menjadi penawar? Aku yang selalu membuat orang meneteskan air mata, dan kau sekadar menghapusnya.”
Cavendis terkekeh pelan. “Katokkon, tanpa aku, orang bisa kapok mencicipimu. Tapi karena ada aku, mereka berani datang kembali, lagi dan lagi. Kau adalah api, aku adalah air. Bukankah keduanya perlu untuk hidup?”







br






