HOBI ITU BENAR-BENAR TENGGELAM

Rahman Rumaday
(Founder K-Apel)

“Ketika kamu menemukan hobi yang benar-benar kamu sukai, itu akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dirimu.” – Chris Guillebeau

NusantaraInsight, Makassar — Setelah tiga hari berkelahi dengan waktu di depan laptop menutup akses komunikasi dengan sesama manusia, dan hanya berkomunikasi dengan Tuhan saat waktu sholat tiba, saya berdiam diri dalam kamar seolah sedang bertapa dalam sebuah hajat untuk mendapatkan ilmu sebagaimana di filem-filem. Hingga adik-adik di rumah mengira saya sedang keluar karena tidak muncul diruang tamu, padahal saya tengah berkutat dengan deadline dari kampus, harus segera menyelesaikan proposal penelitian tesis sampai naik asam lambung dan muntah-muntah, lemas dan demam. Namun, semuanya cepat teratasi dan saya kembali segar seperti semula. Di pagi hari berikutnya, saya duduk santai di depan laptop, mencoba merapikan file-file yang berserakan sambil ditemani telur rebus dan teh hangat yang disiapkan oleh adik-adik di rumah, sudah menjadi sebuah kebiasaan pagi mereka menyiapkan untuk saya teh hangat tanpa saya minta dari mereka.

Diantara file-file yang saya rapikan, saya menemukan selembar foto lawas yang tersembunyi dalam sebuah folder. Foto itu mengingatkan saya pada masa lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA yakni foto club sepak bola. Sepak bola bukan sekadar hobi bagi saya, akan tetapi sudah menjadi bagian dari hidup saya saat itu. Sakin hobinya saya menendang si kulit bundar itu saya lebih memilih membeli sepatu bola daripada sepatu sekolah. Setiap kali ada kiriman uang dari orang tua, saya pasti membeli baju dan celana bola daripada yang lain. Begitu fanatiknya saya terhadap sepak bola hingga semua pakaian sehari-hari saya pun berbau bola, bahkan saya memesan baju bola dari Jawa melalui guru SMP saya yang sering ke jawa.

BACA JUGA:  Tulisan "Jika Saya Wali Kota Makassar" Bisa Mewujud Nyata

Setiap kali membeli baju dan celana bola, saya selalu memilih yang polos. Alasannya sederhana, saya ingin menyablon sendiri nama saya di baju tersebut. Di masjid tempat saya tinggal, saya membuat mal nama sendiri dari kertas dan piloks. Saya membeli piloks khusus hanya untuk menyablon baju bola, sebuah kreatifitas yang memberi kepuasan tersendiri bagi saya pengetahuan itu tumbuh sendiri secara alami tanpa panduan darimanapun karena saat itu belum ada HP android seperti sekarang yang segala sesuatu gampang didapatkan panduannya untuk bisa dilakukan.

Suatu ketika, saya mengirim surat ke kampung yang isinya meminta uang pada orang tua untuk membeli sepatu sekolah. Namun, orang tua saya paham benar kebiasaan saya, mereka tahu bahwa uang itu akan saya gunakan untuk membeli sepatu bola. Maka, saat itu orang tua saya berinisiatif bukan uang yang dikirim sesuai permintaan saya dalam surat yang sampai pada mereka. Justru, mereka mengirimkan sepatu sekolah langsung, bukan uang. Meskipun begitu, keinginan saya untuk memiliki sepatu bola tidak pernah padam.

Iklan Amri Arsyid