Oleh: Rusdin Tompo (Penulis dan Pegiat Literasi)
kudengar teriakanmu
mengentak
menyentak
berlarian di antara lembar-lembar koran
berhamburan ke udara frekuensi radio
suara gagah
menggugah
menggugat
di atas panggung teater engkau menyengat
kudengar teriakanmu
nyinyir pada ketidakadilan
sindir penguasa pongah
yang abai pada kemanusiaan
lalai pada keberpihakan
rakyat dibiarkan
terluka
terlunta
teriakan-teriakan kritis
tajam
menghunjam dalam
agar kita tak diam
agar kita selalu awas
agar kita selalu waras
agar kepura-puraan lepas tuntas
tak jadi topeng penghias.
Rumah Duka Asdar Muis RMS, 27 Oktober 2014
NusantaraInsight, Makassar — Puisi…. Hanya puisi yang bisa saya buat untuk mengenang sosok yang diam-diam saya kagumi sejak lama. Boleh dikata, saya “pengagum rahasia”—meminjam judul lagu Sheila on 7—Asdar Muis RMS. Sayangnya, saya baru beberapa bulan belakangan merasa dekat dengan tokoh kita ini.
Ada beberapa hal yang membuat saya diam-diam jatuh hati pada seniman multitalenta itu. Sepak terjangnya dengan Komunitas Sapi Berbunyi yang dibentuk bersama Basri B. Sila dan Solihin, hanya bisa saya baca melalui pemberitaan media. Saya belum pernah menyaksikan komunitas dengan nama aneh ini manggung, meski terus diliputi penasaran.
Begitupun, saya hanya bisa membaca sekilas isi buku “Sepatu Tuhan” (2003), yang merupakan kumpulan esainya, sekadar hanya berhenti pada ketertarikan, dan tentu saja, mengagumi. Saya gagal mendapatkan buku ini hingga sekarang. Meski sudah mencarinya di toko buku.
Kekaguman saya muncul lagi, ketika rumahnya berikut dirinya muncul di rubrik “Rumah Idaman” Kompas minggu. Sebagai penyuka seni dan keunikan, saya tertarik pada sepeda yang sengaja digantung di salah satu dinding rumahnya, di kawasan Sudiang, Makassar, itu.
Harus diakui, saya bukan pembaca setia kolom dan tulisan-tulisannya. Tapi, salah satu cerpennya yang berjudul “Daster Terong” (Harian Fajar, 30 Maret 2003), sempat saya kutip dalam naskah buku “Anak Jalanan Makassar” yang saya susun (Buku ini kemudian terbit dengan judul “Advokasi Anak Jalanan Makassar”, MediaQita, 2016, pen).
Dalam cerpen itu Asdar Muis RMS menulis:
“Di perempatan jalan, dekat masjid itu, belasan bocah menggelandang tengadah tangan. Bayi masih merah legam teterpa terik matahari, pasrah di punggung bocah yang bergaya kakak. Asap knalpot membungkus tubuh mereka. Di sudut jalan, wanita-wanita baya berharap tangan-tangan mungil anak-anak itu menghasilkan uang.”
Menyikapi tulisan ini, saya mengatakan bahwa mungkin tidak lama lagi potret gelandangan dan pengemis (gepeng) seperti itu akan hilang dari pandangan mata kita. Ini bila rencana pemerintah Kota Makassar mendirikan panti khusus bagi gepeng dapat terwujud dan berjalan efektif. Terlepas dari perdebatan mungkin-tidaknya, atau manusiawi-tidaknya model pendekatan ‘karantina’ seperti itu, yang jelas telah lama terbetik keinginan pemkot agar Makassar memiliki tempat penampungan khusus bagi gepeng.