Satryo, Menteri dengan Masa Tugas 121 hari

Satryo Soemantri Brodjonegoro
Satryo Soemantri Brodjonegoro

Catatan M.Dahlan Abubakar

NusantaraInsight, Makassar — Satryo Soemantri Brodjonegoro, satu-satunya menteri dalam Kabinet Merah Putih pimpinan Prabowo Subianto yang menjadi korban ‘reshuffle’ pertama setelah baru hanya 121 hari menduduki kursi menteri. Ini merupakan sejarah ‘reshuffle’ tercepat yang pernah dilakukan oleh seorang presiden terhadap pembantunya.

Satryo digantikan oleh Brian Yuliarto, Guru Besar ITB Bandung yang gagal menjadi rektor institut ini beberapa waktu lalu. Dulu, ayahnya, Soemantri Brodjonegoro, juga berhenti sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan, bukan diganti oleh orang lain, melainkan karena meninggal dunia setelah menjabat 265 hari (28 Maret s.d. 18 Desember 1973).

Penghentian Satryo sebagai Mendiktisaintek tidak berdiri sendiri. Ini terkait dengan unjuk rasa bawahannya di depan Gedung Kemendiktisaintek, Senayan, Jakarta, pada Senin (20/1/2025).

Demo itu terjadi karena sang Menteri diduga bersikap arogan terhadap salah seorang bawahannya lantaran salah meletakkan meja atasannya itu.

Namun Satryo menduga aksi demo dipicu ketidakpuasan terhadap kebijakannya yang melakukan rotasi dan mutasi besar-besaran terhadap pegawai di kementerian tersebut.

BACA JUGA:  Berita Gembira Bagi Tenaga Penyuluh Lapangan dan Tenaga Kehumasan yang Ingin Gelar S1 Komunikasi di Unismuh, ini Caranya

“Menurut dia, mutasi merupakan bagian dari upaya pembenahan setelah pemecahan kementerian menjadi beberapa entitas mandiri,” Satryo berdalih.

Namun berita yang menyebut ratusan pegawai Kemendiktisaintek menggelar unjuk rasa terkait dugaan kekerasan oleh sang menteri. Beberapa peserta aksi menuding Satryo sering menampar pegawai dan memecat ASN. Salah satu spanduk yang dibawa peserta demo bahkan menyebutkan permintaan untuk dibebaskan dari “menteri pemarah dan suka bermain tangan”.

Neni Herlina, bawahan Satryo yang mendapat perlakuan kurang nyaman itu, saya kenal baik. Pada saat saya menjabat Kepala Hubungan Masyarakat Unhas, dia merupakan salah seorang personel Humas Departemen Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang dipimpin Prof.Dr.Bambang Sudbyo, MBA. Bahkan pernah suatu ketika tatkala para pejabat Kepala Humas se-Indonesia berkumpul menghadiri rapat kerja nasional (rakornas) di Cisarua Bogor tahun 2008, Ibu Neni sempat menggadang-gadang saya sebagai wakil peserta yang akan tampil membaca doa pada acara penutupan rakornas tersebut. Namun saya menolak dengan alasan masih ada yang lebih berkompeten. Mungkin Ibu Neni tahu saya layak sebagai ‘ustaz’ karena membaca di depan nama saya ada H (haji), sehingga mudah mengidentifikasi peserta yang akan didaulat sebagai ‘ustaz’ yang akan membaca doa.

BACA JUGA:  Informasi Terbaru Pelajar yang Akan Kuliah, Hari ini LLDIKTI IX Gelar Sulawesi Education & Techno Expo 2025

Cerita mengenai urusan baca doa dalam pertemuan nasional seperti ini, saya memang pernah sekali. Itu terjadi ketika berlangsung Penataran Wartawan Koperasi se-Indonesia yang dilaksanakan Menteri Koperasi puluhan tahun silam. Itu pun saya menjadi pembaca doa karena ‘kecelakaan’ saja. Pasalnya, yang ditugaskan membaca doa adalah Pak Syamsu Nur yang saat itu menjabat Ketua Bidang Kesejahteraan PWI Sulsel dan menjadi salah satu peserta bersama saya dari Sulsel.

br