Denyut Kehidupan di Car Free Day (5): Dalgona dan ‘Garam Halus’ Resep Escape, Menakar Gula dan Menangkal Serbuk Putih

Syarifah Khumairah (Prodi Sastra Asia Barat FIB/Magang ‘identitas’)

NusantaraInsight, Makassar — Suara gemuruh pijakan kaki di atas aspal Panakukang selalu punya nada optimisme.

Pagi hari, ketika embun baru luruh dan matahari belum terlampau garang, jalan raya Boulevard seketika menjelma pasar. Di tengah ramainya manusia yang berburu sehat dan tawa, Tanika (nama samaran) 12 tahun, berdiri kokoh.

Ia bukan duduk di balik meja, atau di bawah tenda, melainkan di tengah jalan. Berpakaian seadanya dengan keranjang berisi dalgona — permen gula Korea yang terbuat dari gula dan soda kue — yang melingkar di lehernya. Aroma karamel yang samar menjadi mantra penarik rezeki. Dengan harga lima ribu rupiah per buah, ia menawarkan cita rasa manis di Car Free Day Boulevard Panakkukang, Ahad (13/10/2025) pagi itu.

Tanika, siswi kelas 6 sekolah dasar, telah menjadi pedagang cilik sejak kelas 4. Ia memilih berjualan dalgona agar bisa membeli makanan dan menabung.

Cita-citanya sederhana tapi luhur: menjadi guru matematika seperti sosok yang ia kagumi di sekolahnya.

BACA JUGA:  Ini Tiga Program Kerja Ranting Aisyiah Biring Romang Selama Ramadhan 1445 H

Namun di balik senyumnya yang polos, tersimpan cerita yang getir. Berjualan bukan sekadar menabung, melainkan membangun jarak fisik dan batin dari lorong tempat ia tinggal, di Jalan Bambu, Kecamatan Joa (bukan nama sebenarnya).

Di lorong itu, ia sering bertemu dengan suara perang busur dan transaksi “garam halus” atau narkoba.

Setiap Ahad, Tanika bangun pukul enam pagi. Ia menyiapkan sekitar tiga puluh dalgona dengan motif bintang, kucing, bulan, dan burung bersama tante dan dua sepupunya.

Mereka menanti pembeli di tepi jalur yang kini diubah menjadi satu arah. Dinas Perhubungan Makassar, dikutip dari kumba.news, menyebut pengaturan ini untuk keteraturan dan mengurangi gesekan antara pengunjung yang berolahraga dan pedagang. Namun perubahan itu, diakui Tanika, membuat pembeli berkurang.

Sekarang harus menunggu lama baru ada yang beli,” ujarnya pelan.
Ayahnya bekerja sebagai pengemudi ojek online. Ibunya berjualan di rumah. Aktivitas berdagang Tanika adalah bentuk kemandirian kecil yang ia bangun sendiri. Ia menikmati pekerjaannya, meskipun kadang harus berjualan tanpa sarapan karena tergesa-gesa.

BACA JUGA:  Denyut Kehidupan di Car Free Day (1): Menjaga Rasa Lama di Era Baru

Di sini saya aman. Orang-orang yang beli juga baik-baik,” katanya, membandingkan ketenangan CFD dengan lingkungan rumahnya yang kerap gaduh.

Di Jalan Bambu, keamanan adalah barang mewah. “Perang busur” adalah istilah lokal untuk konflik antarwarga menggunakan panah rakitan. Data Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar mengungkapkan, hingga pertengahan 2024 setidaknya 23 kasus perang busur terjadi di wilayah kota. Sebagian besar di Kecamatan Tamalate dan Tallo, dua kawasan padat yang mirip dengan tempat tinggal Tanika.

br
br