Beras Oplosan, Rakyat Tertipu: Di Mana Taring Negara?

Oleh: Fina Khairatun Hisan

NusantaraInsight, Makassar — Belum lama ini publik kembali dikejutkan oleh temuan skandal besar di sektor pangan: kecurangan pada beras premium. Kementerian Pertanian mengungkap bahwa terdapat 157 merek beras premium yang tidak sesuai standar, baik dari segi kualitas maupun mutu yang diklaim.

Ironisnya, beras kualitas medium dioplos dan dikemas ulang menjadi beras premium lalu dijual dengan harga tinggi, menipu konsumen dan merugikan masyarakat hingga hampir Rp100 triliun (Metrotvnews, 15 Juli 2025).

Temuan ini bukan insiden pertama. Sudah bertahun-tahun praktik curang ini berlangsung, bahkan melibatkan perusahaan-perusahaan besar. Kecurangan bukan hanya soal timbangan yang dikurangi atau kemasan yang menipu, namun juga menyangkut pengkhianatan atas kepercayaan publik dan penghancuran prinsip keadilan dalam sistem ekonomi.

Namun, yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa regulasi telah ada, tetapi tak bertaji. Pemerintah memberi ultimatum kepada para pengusaha nakal untuk “memperbaiki” kualitas beras yang mereka jual. Tidakkah ini bentuk kelemahan sistemik? Mengapa pengusaha curang malah diberi ruang negosiasi, bukan dijatuhi sanksi tegas?

BACA JUGA:  PJ Bupati Bantaeng Respon Positif Pecinta Sepakbola Bantaeng Nobar Piala Asia 2024 di Pantai Seruni

Kapitalisme: Sistem yang Menghalalkan Segala Cara

Realitas ini menyingkap tabir gelap dari sistem ekonomi kapitalisme. Kita hidup dalam sistem yang menjadikan keuntungan sebagai poros utama. Dalam logika kapitalisme, apa pun sah selama mendatangkan profit, meski itu merugikan jutaan rakyat. Praktek kecurangan dianggap “biasa”, bahkan menjadi rahasia umum dalam dunia industri. Kejujuran menjadi barang langka, karena sistem tidak membentuk manusia untuk amanah, melainkan untuk cerdik dalam mengeksploitasi celah.

Maka jangan heran, ketika regulasi yang dibuat pun bersifat kosmetik, bukan solusi sistemik. Karena di balik banyak aturan, ada kepentingan oligarki dan korporasi yang terus melobi dan mempengaruhi kebijakan.

Negara Absen Mengurus Pangan, Korporasi Ambil Alih

Dalam sistem sekuler, negara diposisikan sebagai regulator pasif, bukan pengurus aktif rakyat. Negara hanya memfasilitasi, bukan mengurusi secara langsung. Akibatnya, sektor vital seperti pangan dikuasai oleh segelintir korporasi, dari hulu (produksi) hingga hilir (distribusi dan konsumsi). Pasokan beras nasional yang dikuasai negara tak lebih dari 10%, sisanya dikendalikan oleh swasta. (Kompas, 13 Juli 2025)

BACA JUGA:  Wamen Dikdasmen Dr. Fajar Riza Ul Haq Bakal Jadi Narasumber Seminar Nasional APKS PGRI Sulsel

Kondisi ini membuat negara tidak punya bargaining power, alias tidak punya posisi tawar dalam menekan korporasi. Bahkan pengawasan pun tak bisa maksimal karena akses kontrol dan informasi berada di tangan swasta. Begitu pula dengan penegakan sanksi, yang kerap lunak dan tidak menimbulkan efek jera.