Oleh M.Dahlan Abubakar
NusantaraInsight, Makassar — Sabtu (24/5/2025) saya diajak keluarga Prof.Dr.Munira Hasyim, S.S.,M.Hum pergi berendam di Gusung Tallang (Gustal) di depan Pelabuhan Makassar. Saya pernah ke tempat ini sudah ketiga kalinya dengan ini, jika tidak salah ingat. Kali ini Prof. Munira disertai oleh suami Ir.H.Ahmad Rijal, ibunya, anak, dan seorang cucu serta seorang temannya. Saya bersama istri. Prof. Munira Hasyim jika mengajak saya ke suatu acara selalu minta saya bersama ‘mantan pacar’.
Menumpang speedboat dari depan Fort Rotterdam ke Pulau Gustal selalu membuat perasaan saya ‘sensitif’. Apalagi saat melintas di antara Pulau Laelae dengan pantai di depan Benteng Fort Rotterdam itu. Apa penyebab?
Pada tanggal 15 November 1971, kali pertama saya “terdampar” di Makassar, dalam petualangan mencari ilmu yang berujung menjadi warga Sulawesi Selatan hingga kini, ‘ruang’ laut antara kedua daratan itulah yang menyimpan kesan dan selalu terkenang. Pagi hari itu, 53 tahun 6 bulan silam itu, di kejauhan, tampak gedung tertinggi di deretan Pelabuhan Makassar, Pabrik Terigu yang sedang dibangun. Hujan masih lebat pagi hari itu. Angin bertiup kencang, mendorong perahu lambo berlayar tujuh “Masyalihul Ahyar” kian mendekat ke kawasan pelabuhan Makassar. Tiba-tiba di sebelah timur Pulau Laelae, perahu tanpa motor itu menggulung layarnya. Ada apa?
“Seluruh penumpang turun di sini. Bawa saja barang seperlunya. Yang berat-berat, nanti diambil besok di Pangkalan Hasanuddin (kini lokasi dermaga peti kemas), ” seorang anak buah perahu memberi tahu.
Mendengar titah anak buah perahu, kami pun segera berkemas. Kami ‘dibongkar’ di sini karena perahu dilarang membawa penumpang, sementara muatannya penuh dengan bawang. Kalau Syahbandar berhasil mendeteksi perahu membawa muatan penumpang, persoalan menjadi panjang. Namun biasanya selesai dengan format “86”.
Saya pernah setelah menjadi wartawan, memergoki petugas Syahbandar yang melakukan transaksi ‘86’ di sekitar kawasan ini. Petugas itu tidak melihat saya menjepret secara sembunyi-sembunyi. Keesokan hari, harian “Pedoman Rakyat” heboh di kawasan Pelabuhan Makassar. Satu keterangan gambar berisi keterangan ‘transaksi’ di laut.
Melihat perahu besar dengan belasan penumpang, sejumlah perahu ‘katinting’ merubung perahu. Saya dengan Kak Mannar Ibrahim — senior di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unhas yang berhasil mengalihkan perguruan tinggi pilihan saya — langsung melompat ke atas sebuah katinting bersama beberapa orang lainnya. Perahu segera ‘tancap gas’ ke sebelah, dan mendarat tepat di antara Kantor Polsek Ujungpandang – Hotel Swissbelin Jl. Pasar Ikan sekarang. Hujan lebat mengguyur becak yang kami tumpangi menuju Jl. Sunu, kediaman Kak Mannar Ibrahim.