Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Generasi Z, mereka yang lahir antara pertengahan 1997-an hingga awal 2012-an, tumbuh dalam dunia yang tak pernah benar-benar sunyi. Sejak kecil, hidup mereka dikelilingi oleh bunyi: suara notifikasi pesan, dering panggilan video, update media sosial, dan deretan pop-up yang tak henti muncul di layar. Dunia mereka adalah dunia yang terus terhubung—cepat, instan, dan nyaris tak memberikan ruang untuk jeda. Mereka tidak hanya hidup di zaman informasi, tapi hidup dalam notifikasi.
Notifikasi telah menjadi denyut nadi kehidupan digital mereka. Bagi sebagian dari mereka, suara “ting!” dari ponsel bisa berarti banyak hal: perhatian, pengakuan, ajakan, bahkan validasi. Tak heran jika banyak dari Gen Z yang merasa gelisah saat ponsel mereka sunyi. Seolah-olah diamnya notifikasi adalah pertanda bahwa mereka tidak sedang eksis, tidak sedang dilihat, atau tidak cukup menarik untuk diperhatikan.
FOMO—Fear of Missing Out—menjadi salah satu dampak psikologis yang menonjol. Mereka takut tertinggal. Takut tidak tahu apa yang sedang viral. Takut tidak ikut tren. Dan lebih dalam lagi: takut tidak menjadi bagian dari percakapan sosial yang sedang berlangsung. Akibatnya, banyak dari mereka yang terus-terusan membuka ponsel, bahkan tanpa sadar. Sekadar mengecek, memastikan bahwa dunia di luar sana tidak sedang berjalan tanpa mereka.
Namun hidup dalam notifikasi tidak selalu berarti hidup yang lebih terhubung. Justru sebaliknya, banyak dari Gen Z yang mulai merasa terisolasi dalam keintiman semu. Meskipun mereka punya ratusan atau bahkan ribuan koneksi digital, tak jarang mereka merasa kesepian secara emosional. Percakapan yang seharusnya hangat tergantikan oleh reaksi emoji. Ekspresi wajah dan nada suara digantikan oleh stiker dan filter.
Belum lagi tekanan untuk selalu tampil sempurna. Media sosial mendorong mereka menyajikan versi terbaik dari diri sendiri—editan foto, caption yang catchy, momen-momen bahagia. Ini menciptakan ilusi bahwa hidup harus selalu “wah” dan “seru.” Padahal di balik layar, banyak dari mereka yang berjuang dengan stres, cemas, bahkan depresi.
Meski begitu, tidak semua tentang Gen Z dan notifikasi bersifat negatif. Mereka juga generasi yang paling cepat beradaptasi, kreatif, dan punya kepekaan sosial tinggi. Mereka memanfaatkan notifikasi untuk belajar, membangun komunitas, menyuarakan keadilan, bahkan menghasilkan karya dan penghasilan. Mereka hanya perlu belajar menyeimbangkan—menjadi pengendali teknologi, bukan budaknya.