Ketika Hasan Hasjim “Menculik” HAMKA

Hasan Hasjim
Hasan Hasjim (kedua dari kanan)

NusantaraInsight, Makassar — Ini kisah lama. Terjadi tahun 1976. Jadi sudah berlalu 49 tahun. Namun, menariknya, saya baru mendengar dan mengetahuinya setelah pelaku “penculikan” sendiri menuturkannya 21 April 2025 malam.

Pada malam hari itu, saya hadir pada acara taskiratul maut atas berpulangnya ke rakhmatullah Hj.Hatifah Dg.Rannu binti Massuara Dg.Sikki, ibunda H.Andi Azis Peter, S.H.,M.Si., yang kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Gowa.

Seperti juga pada malam pertama taskiratul maut, saya memilih posisi duduk di jalan masuk para tamu. Maksudnya, selain bisa sedikit menikmati angin malam dari jalan yang melintas di kediaman almarhumah di Bonto-Bontoa Sungguminasa, juga dapat melihat para tamu yang hadir. Siapa tahu ada teman yang saya kenal dan lama tidak bertemu.

Usai acara yang menampilkan penceramah Dr.Abd.Rahman Qayyum, jika tidak salah pernah mengajar di ASMI Publik pada tahun 1980-2000, tempat saya juga pernah berdiri di depan kelas, sejumlah orang mulai meninggalkan lokasi acara. Saya mengurungkan niat segera balik karena belum sempat bertemu dengan putra-putri almarhumah yang saya kenal baik.

BACA JUGA:  Kemandirian Pola Pikir dan Kepedulian Sosial

Sambil menunggu bertemu dengan putra-putri almarhumah, saya pun berbincang-bincang dengan seorang pria yang usianya berkisar 60-an tahun. Saya melihatnya dari samping, sehingga tidak sempat mengenali wajahnya. Ketika dia menyebut “Pedoman Rakyat”, saya mulai tertegun.
“Pasti lelaki di sebelah saya ini kenal saya,” saya membatin.
Tidak mau berlama-lama penasaran, saya pun bertanya.
“Maaf, nama Bapak?,” pertanyaan yang singkat dan jelas.
“Hasan Hasjim?,” jawab lulusan Fakultas Teknik Unhas ini.
“Astagaaaaa….,. Habis saya duduk di samping,” sergah saya.

Nama ini tentu saja tidak asing bagi saya. Kami sering bertemu dalam berbagai kegiatan seminar. Terakhir beberapa tahun silam di Bambooden ada acara juga. Kami sering bertemu. Oh..setelah di Bamboooden itu, kami pernah bertemu dalam suatu acara di kediaman adiknya Prof.Dr.Munira Hasjim, S.S.,M.Hum.

Dalam pertemuan ini kami berbicara banyak, termasuk rencana menjalin “sister city” (kota kembar) dengan Melaka, salah satu negara bagian di Malaysia dan terletak di Semenanjung Malaysia. Melaka dikenal sebagai kota tua yang memiliki sejarah panjang, dan kaya, terutama sebagai pusat perdagangan kolonial pada masa lampau. Konon, orang Bugis-Makassar pertama mendarat di kota ini.

BACA JUGA:  LITERASI PINTU MEMASUKI TRADISI INTELEKTUAL

Saya juga diajak bergabung grup Whatsapp berkaitan dengan rencana itu. Tampaknya sudah diikutkan. Pak Dr.Ir.Hasan Hasjim,M.Si. juga berencana menjalin hubungan kesejarahan dengan Bima, tanah kelahiran saya. Tampaknya, Pak Hasan Hasjim dari catatan saya sebagai editor buku Prof.Munira yang berjudul “PADDAENGANG, Penamaan dalam Etnik Makassar” yang diterbitkan Pas Media Yogyakarta (2022). Di dalam buku setebal 334 halaman itu, saya menjelaskan hubungan historis antara Makassar dengan Bima yang berlangsung ratusan tahun silam. Hubungan yang semula dalam bentuk perbantuan Gowa terhadap seorang keturunan Sultan Bima yang kekuasaannya dirampas oleh salah seorang tokoh, berlanjut hingga kepada hubungan kekerabatan. Tercatat Sultan Abdul Kahir I yang datang meminta bantuan Kerajaan Gowa, kemudian memperistrikan putri Sultan Alauddin. Setelah pernikahan pertama tersebut, dilanjutkan sedikitnya empat atau lima kali pernikahan antara putra Sultan Bima dengan putri Raja Gowa.