NusantaraInsight, Makassar — Kerusakan yang menjalar di darat dan laut bukanlah kutukan yang datang tiba-tiba, melainkan hasil dari keserakahan dan kelalaian manusia yang menjadikan alam sekadar alat pemuas hasrat.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” ~ Ar-Rum : 41
Pantai yang dahulunya bersih dan lautnya jernih membiru perpaduan dari biru langit yang cerah. Sehingga diberi nama pantai biru, tutur salah satu penduduk asli setempat yang sempat saya temui. Pantai tersebut termasuk dalam daftar spot wisata diantara sejumlah pantai di pesisir Makassar.
Pantai yang memiliki warna pemandangan dominan biru terang, warna laut yang terkadang terlihat biru terang, kini menjadi tempat pembuangan segala sisa yang diabaikan. tercemar oleh limbah yang disiramkan tanpa pikir panjang.
Tangan manusia telah menodai keseimbangan alam yang dahulu diciptakan dengan penuh kesempurnaan.
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.’ ~ Yasin : 65
Apakah kita masih punya cukup kesadaran untuk kembali kepada harmoni, ataukah kita sudah terlanjur nyaman dalam kehancuran yang kita buat sendiri? Waallahu’alam
Karena bukan itu yang mau saya bahas dan tulis, sebab ada perkara yang lebih hakiki dari sekadar hiruk-pikuk keputusan dan regulasi yakni nurani yang berbicara di antara jeda ketukan bunyi palu kekuasaan dan tarian pena di atas lembar kekuasaan, biarlah mereka yang bertahta di kursi keputusan menuliskan takdir regulasi, menorehkan tanda tangan sebagai segel keabsahan.
Yang saya mau tulis adalah bahwa, di gusi pantai yang dihinggapi sisa-sisa kotoran tangan manusia, saya menerima dua buku terbaru dari Kak Yudhistira Sukatanya, kedua buku tersebut saya dapatkan dalam momen Launching dan diskusi buku kumpulan Puisi “Mengaji Ombak Tanadoang” karya Muhammad Amir Jaya seorang penyair Sulawesi Selatan yang akhir-akhir ini lagi giat mendiskusikan karya sastra teman-temannya di Forum Sastra Indonesia (FOSAIT) dan Ikatan Penulis Muslim Indonesia (IPMI)
Pada kesempatan tersebut bukan hanya sekedar perayaan sastra, tetapi juga kesaksian bahwa di tengah debu peradaban yang rakus, masih ada yang percaya pada kekuatan kata-kata untuk membangunkan yang lalai. Ombak yang menghempas kaki-kaki pantai seolah bertanya, adakah kata-kata itu cukup kuat untuk mengubah tangan-tangan perusak menjadi tangan-tangan pemulih?
Kalau itu pertanyaannya, maka jawabannya masih ada! Sebab setiap kita memilih menyadarkan dan mengubah sesuatu dengan caranya. Saya memilih berbicara tentang yang tak tercatat, menuliskan yang tak terdengar, dan merawat makna di balik suara-suara yang sering kali ditenggelamkan oleh gaduhnya otoritas. Sebab kebenaran tak selalu lahir dari sidang dan kebijakan, tetapi juga dari suara hati yang menolak tunduk pada ketidakadilan…**