KETIKA 180 KREATOR MILENIAL DAN GEN Z, DARI ACEH HINGGA PAPUA, BERSAKSI MELALUI PUISI ESAI

– Sebuah Pengantar: Oleh Denny JA

“Menulis adalah sebuah cara untuk mendengar suara yang tak terdengar, merangkul yang tak terjamah, dan melihat yang tersembunyi di balik keramaian.”

NusantaraInsight, Jakarta — Dalam sunyi, ketika kata demi kata terangkai, tercipta sebuah jembatan yang menghubungkan kita dengan diri terdalam, dengan sesama, dan dengan dunia yang terus berubah.

Kutipan ini mengajak kita memasuki dunia sastra yang lebih dari sekadar tulisan; ia adalah jiwa yang menyuarakan keheningan, ketakutan, harapan, dan mimpi.

Khususnya bagi generasi milenial dan Gen Z, menulis adalah cara untuk merekam jejak pemikiran mereka di tengah arus digital yang terus berlalu.

Di era yang sering kali didominasi oleh kilasan informasi cepat dan gambar-gambar instan, puisi esai hadir sebagai media yang mendalam, mengajak mereka berhenti sejenak, merenung, dan menyuarakan kisah dari sudut pandang mereka sendiri.

Renungan ini yang teringat ketika saya ikut mengelola sekitar 180 kreator, berusia 25 tahun ke bawah, dari Aceh hingga Papua, bahkan juga dari Malaysia, Singapura, Thailand hingga Kairo, mengekspresikan kesaksian atas isu kemanusiaan, true story, melalui puisi esai.

BACA JUGA:  Ikatan Budaya Butta Toa Bantaeng Meriahkan HUT RI ke-79 dengan Pameran Seni Rupa "Butta Toa Exhibition".

Menyambut Festival Puisi Esai Jakarta yang kedua, Desember 2024, mereka menuliskan puisi esai dalam 18 buku. (1)

Ini kegiatan yang membuat lega karena menulis sastra kini menjadi paradoks. Riset menunjukkan bahwa pembaca sastra cenderung memiliki solidaritas sosial lebih tinggi, namun minat membaca sastra menurun.

Menurut National Endowment for the Arts (2015), hanya 43% orang dewasa di AS membaca sastra, turun dari 56% pada 1982.

Sedangkan menurut data LSI Denny JA di tahun 2024, penduduk Indonesia yang membaca sastra minimal 1 buku tahun lalu, hanya 16 persen.

-000-

Mengapa Sastra, Mengapa Puisi Esai?

Sastra telah menjadi nafas sejarah, memperkaya budaya dan menjadi saksi zaman. Bagi generasi milenial dan Gen Z, sastra bukan hanya sekadar ekspresi pribadi, tetapi cara untuk mengukir identitas dan memahami dunia.

Dalam konteks ini, ada tiga alasan kuat mengapa penting mengajak mereka untuk menulis sastra, khususnya puisi esai, yang menjadi ruang kreatif antara puisi dan prosa, menyuarakan isu-isu sosial dengan estetika dan kontemplasi.

BACA JUGA:  Mozaik Jurnalistik dalam Bingkai Tradisi

Pertama: Menumbuhkan Kepekaan Sosial

Milenial dan Gen Z adalah generasi yang hidup di era kompleks dengan isu-isu global yang semakin nyata.

Masalah hak asasi manusia, ketidakadilan, perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan krisis kesehatan mental adalah isu-isu yang dekat dengan mereka.