Religi  

Gema Takbir, Akar Peradaban Ilahiyah

Syafruddin Muhtamar (Penyusun Buku: As-shalatu Mikrajul Mukminin)
Syafruddin Muhtamar (Penyusun Buku: As-shalatu Mikrajul Mukminin)

Oleh: Syafruddin Muhtamar (Penyusun Buku: As-shalatu Mikrajul Mukminin)

NusantaraInsight, Makassar — Dalam masyarakat muslim, takbir merupakan laku yang sangat lazim. Shalat lima waktu, yang wajib, beriringan shalat sebelum dan sesudahnya, yang sunnah: momen ubudiyah, seorang mukmin demikian akrab dengan takbir.

Malam barusan saja melintasi waktu magrib. Ada selah “senyap sepoi” menggelantung di awan-awan malam.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar; La ilaha illah wu Allah hu Akbar; Allahu Akbar wa lillahil Hamdu…

Senyap yang seketika itu, terurai “paksa” oleh kehadiran suara Tauhid, yang datang tanpa lamat. Bersama udara malam yang berhembus, seolah musim sedang kemarau, mengusung kalimat agung itu dipundaknya, layaknya bunga suci, yang dipetik dari menara-menara mesjid, yang berdiri bagai rimbun hutan pinus, di seluruh penjuru bumi.

Malam, di bulan dzulhijjah, ketika seluruh jamaah haji, sedang mendekap ratapan doa-doa mereka dalam lirih dingin Gunung Arafah, yang diselimuti kemuliaan ilahiyah.

Kaum muslim, selain yang “mukim ibadah” di Arafah, merayakan Idul Adha. Perayaan yang ditandai gema suara takbir, tahmid dan tahlil. Sejak awalnya, hingga akhirnya.

BACA JUGA:  Peletakan Batu Pertama Pembangunan Asrama Putra Pondok Pesantren Al Fatih Anrihua

Gemah itu terkadang dibawah berkeliling. Mengitari desa atau mengitari kota. Bersambung-sambung, melingkupi sebuah bangsa, melingkupi alam raya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar; La ilaha illah wu Allah hu Akbar; Allahu Akbar wa lillahil Hamdu…

Suara-suara agung itu, terus menerus mengukir dirinya pada dinding-dinding langit, sejak malam yang dingin, hingga siang hari, yang waktu paginya, wajah bumi setenang wajah bayi yang sedang lelap, dalam nyenyak.

Dua rakaat sholat sunnah Idul Adha, penanda utama, dari hajat ilahaiyah setiap bulan Zulhijjah ini. Dilengkapi dengan, majelis ilmu bermimbar, setelah tunai dua rakaat itu.

Ada puasa sunnah Arafah. Ada wirid-wirid khusus sepanjang 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Tak luput, ibadah khusus “Lail”, 5 hari, terakumulasi dalam sebelum dan setelah waktu Idul Adha.

Seluruhnya merupakan adab yang mengandung makna ilahi. Serangkaian etik manusia, yang terselenggara, semata karena ada perintah dari yang Maha Berdaulat. Perintah Tuhan kepada hambah. Hambah yang sejati, patuh, apa adanya.

Sebuah kemuliaan, yang dianugerahkan oleh Allah SWT pada bulan ini. Bulan, ketika Nabi Ibrahim AS, diberi mimpi untuk diminta kepatuhannya. Anaknya yang “semata wayang”, yang kehadirannya juga lama dinanti-nanti, yang telah dibesarkannya dalam genap rasa kasih-an dan ke-sayang-an, Ismail (AS), diminta oleh Tuhannya untuk di kurbankan.