NusantaraInsight — Dalam bedah buku puisi Pertemuan Kecil karya Agus K Saputra, Kamis (18/04), Kongso Sukoco mengatakan, “Salah satu puisi berjudul ‘The Last Pepadu’ menarik perhatian saya, karena sumbernya berasal dari olah raga rakyat yang sangat populer di Lombok yaitu Peresean. Karena itu, perupa setempat (Lalu Syaukani, red) mencoba mengabadikan permaian olahraga tradisional itu. Tentu saja lukisan itu tak menyampaikan pengertian verbal. Tapi mungkin puisi bisa memperluas pemaknaan.”
‘…hingga darah menetes//memercik tempat berpijak//menyambut hujan tiba..
Nah seperti ini, Agus menangkap makna lukisan berjudul ‘The Last Pepadu’. Ini hanya salah satu contoh, bagaimana transformasi seni rupa ke medium bahasa memungkinkan perluasan pengertian hasil pengamatan visual. Dan bisa jadi tidak sekedar itu, tapi juga memungkinkan hadirnya pengalaman estetik yang otonom.
Dalam contoh ini, lanjut Kongso, puisi salah satunya bisa mengambil peran memperluas pengertian kenapa harus diadakan ritus peresean. Ia mungkin hendak menjelaskan mitos tentang berlalunya musim kemarau di Lombok, tetesan darah merupakan simbol harapan kesuburan. Darah yang memercik dari pepadu yang berlaga, bagian dari harapan turunnya hujan menggantikan kemarau.
“Inilah yang saya maksud bahwa kreativitas membuat kita berpikir orisinal. Membuat solusi-solusi baru. Punya perspektif baru. Sesuatu yang mesti harus dihidupkan dan jangan menjadi umum, “ ujar Kongso.
Bagi Prof Wahid pertemuan ini adalah sebuah pertemuan besar dari proses dialektika. Pertama, saya menjadi tidak percaya kepada penyair, ketika menyaksikan proses musikalisasi puisi Secret Garden (karya lukis Mantra Ardhana) oleh Ary Juliyant. Karena ternyata, dibalik kerendah hatian, dibalik tawadhu, dibalik ketidak inginan untuk disingkap, ternyata ada sesuatu yang besar.
Kedua, menarik sekali proses kreasi dari puisi-puisi ini, maka saya menjadi percaya. Bahwa dalam kajian kebudayaan ada adagium yang menyatakan penyair itu mati. Pelukis itu mati. Pembuat novel itu mati. Yang membuat ia hidup kembali adalah orang yang membacanya.
“Saya kira, penyair Agus adalah pembaca ulung yang penuh kreativitas. Yang kemudian membuat karya-karya yang oleh orang awam menjadi begitu lebih berbicara. Dan apa yang dibicarakan itu besar sekali. Inilah Ruh,” kata Aba Du Wahid, nama medsosnya di facebook.
Pada titik ini, Prof Wahid seolah diingatkan oleh pembicara sebelumnya, Majas Pribadi (Syawalan dan Berkesenian) yang mengutif Surat An-Naba ayat 38: “Yauma yaqumur-ruhu walmala ikatu saffal la yatakallahuma illa man azina lahur-rahmanu wa qala sawaba”