SEMESTA JURNALISME: DARI GUTENBERG HINGGA ZUCKERBERG

Demikian halnya, kehadiran stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) berkaitan dengan perhelatan Asian Games IV di Jakarta, tahun 1962.

Tidak mengherankan bila banyak tokoh bangsa, pejuang, intelektual, sastrawan, dan penyair juga berlatar belakang jurnalis.

Mereka antara lain, Adam Malik (Wakil Presiden RI ke-3), Wage Rudolf Supratman (pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya), Rohana Kudus (jurnalis perempuan pertama di Indonesia), Buya Hamka (ulama dan cendekiawan), Chairil Anwar (penyair), Mochtar Lubis (sastrawan), Burhanuddin Muhammad Diah (diplomat), Rosihan Anwar (sastrawan), Goenawan Mohamad (sastrawan dan budayawan), dan masih banyak lagi.

Kontribusi mereka bukan hanya di bidang pers dan jurnalisme tapi melampaui profesi mereka sebagai orang media. Tidak mengherankan apabila jurnalis atau wartawan disebut sebagai kerja intelektual.

Karena media massa, tidak semata-mata merupakan entitas ekonomi, tapi juga sekaligus sebagai entitas sosial. Ada tanggung jawab di situ, bukan melulu mengejar laba demi membesarkan korporasi.

Bahkan, sejatinya ‘jualan utama’ media massa bukan kecepatan tapi keakuratan, dan itu adalah kepercayaan. Aktivitas jurnalisme yang dimulai dengan peliputan, pelaporan peristiwa, penulisan, penyuntingan, dan penyajian atau penyebarluasan berita, mesti objektif dan terjaga kejujurannya.

BACA JUGA:  Pers Pengawas Kekuasaan dan Penjaga Harapan

Itulah mengapa, ada “isme” di dalam jurnalisme. Karena para jurnalis disyaratkan berdisiplin pada verifikasi. Para jurnalis harus skeptis, tidak mudah percaya pada informasi yang diperoleh, dengan meneliti, memeriksa dan mencari kejelasan dari sumber-sumber yang kompeten.

Jurnalis mesti tabayyun melakukan cover both side, check and recheck, dan segala macam konfirmasi guna menghadirkan karya jurnalistik yang berkualitas.

Dalam menjalankan profesinya, jurnalis dijamin kemerdekaan persnya, guna memenuhi hak masyarakat untuk tahu (public right to know), yang dijamin konstitusi.

Mereka dapat menjalankan investigasi, membentuk opini publik, mengembangkan jurnalisme advokasi, dan mengawasi kekuasaan (watch dog).

Hak atas informasi, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi ini, selalu dikaitkan dengan kualitas demokrasi. Transparansi dan akuntabilitas oleh lembaga-lembaga publik, juga dihubungkan dengan seberapa mereka terbuka dan bisa diakses oleh pers/media massa.

Sedemikian pentingnya kedudukan pers/media massa, sehingga pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun, dalam menjalankan profesinya, para jurnalis tetap tunduk pada standar dan kode etik jurnalistik, P3 dan SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), etika profesi, nilai-nilai dan kearifan lokal, serta hukum formal yang berlaku.