Seandainya Lakkang Jadi Laboratorium Wisata Berkelanjutan (2)

Lakkang
Rusdin Tompo di atas Pincara

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)

NusantaraInsight, Makassar — Saya bagai kehilangan orientasi setelah memasuki kampung Lakkang. Tak ada papan petunjuk, yang menyambut kami begitu kita memasuki kampung yang sudah di-branding sebagai Desa Wisata ini. Padahal, titik pertama yang ditemui, setelah rute panjang tadi merupakan simpul yang bisa memberi gambaran kepada pengunjung atau siapa pun yang datang ke Lakkang. Mungkin, ada baiknya, bila dipasang rambu dan papan informasi. Biar tidak bingung, saat mendapati jalan yang bercabang di mulut kampung, apakah akan ke kiri, kanan, atau terus saja.

Istri saya, dari arah belakang, di boncengan, sempat bertanya, kita akan lewat mana? Namun, saya memberi isyarat dengan tangan bahwa akan berbelok ke kanan. Saya sampaikan, biar kita nikmati saja perjalanan ini. Jalan yang saya pilih memang indah, menghadirkan sawah yang tumbuh hijau. Hanya saja, setelah itu, ternyata jalan buntu. Saya kemudian berbalik arah, lalu belok ke kanan, kembali ke jalan pertama. Selanjutnya, saya terus saja lurus ke depan.

BACA JUGA:  Kepo (2): Nostalgia dengan Mappinawang

Saya mengendarai sepeda motor dengan pelan, mengingat jalan di kampung Lakkang ini tidak begitu lebar. Mungkin hanya selebar 3 meter. Rumah-rumah warga kebanyakan berupa bangunan permanen terbuat dari semen (rumah batu). Hanya beberapa yang masih berupa rumah panggung, khas rumah tradisional Makassar. Jarak antar bangunan cukup rapat, tidak selalu ada pagar yang mengantarainya. Jumlah populasi warga Lakkang, berdasarkan data BPS Kota Makassar (2018), tercatat lebih dari 975 jiwa. Jumlah rumah tangganya sebanyak 238 KK (kepala keluarga), dengan kepadatan penduduk sebanyak 848/km².

Sambil terus berkendara, saya memuji suasana kampung yang rimbun dan sejuk. Vegetasi di sini cukup beragam, dari jalan saya melihat ada pohon jati, mangga, pisang, jeruk, nangka, dan tanaman lainnya. Pohon bambu di sini tumbuh subur, dengan daun-daun yang saling merangkul. Di area tertentu, malah bisa kita jumpai rimbun rumpun bambu yang membentuk seperti terowongan. Oleh warga, bambu dijadikan pagar serta kerajinan anyaman.

Mata saya terus mencari, kalau-kalau ada tulisan sebagai informasi. Sempat saya membaca tulisan di rumah warga, tempat pengajian dalam bahasa Makassar. Di jalan memang saya melihat beberapa anak laki-laki mengenakan songkok, sambil mengapit Al-Qur’an yang dibungkus sarung, seperti hendak ke tempat mengaji. Juga seorang anak perempuan yang bermain sepeda dengan temannya.

BACA JUGA:  Sosok Si Abang Kumis Nursalam, Orang Bugis Toraja yang Ikut Nahkodai Rumah Besar Guru

Saya lantas memilih berhenti, setelah melihat papan nama cukup besar bertuliskan Guest House dan Rumah Industri Kerajinan Anyaman Bambu. Di papan nama itu juga terdapat logo UNIFA (Universitas Fajar), yang saya tafsirkan bahwa kampus itu pernah mengadakan program pengabdian pada masyarakat di sini.