Penggunaan AI Dalam Jurnalisme

Penggunaan AI Dalam Jurnalisme
Diskusi Media

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)

NusantaraInsight, Makassar — “Bisa belum tentu boleh. Boleh belum tentu benar. Benar belum tentu bijak.” Ini kalimat pembuka ketika saya memberi komentar dalam kegiatan Diskusi Media, Media Diskusi bertema “Media vs Artificial Intelligence”, yang diadakan Makassar Channel, Nusantara Insight, dan JOIN di Kompleks Griya Fajar Mas, Makassar, Selasa, 28 Januari 2025.

Kalimat reflektif-filosofis itu saya kemukakan untuk menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam pemanfaatan teknologi komunikasi informasi, terutama oleh kalangan jurnalis.

Sebab, jurnalis yang baik, kata Robert Upshur “Bob” Woodward, selalu bertanya apa, mengapa, di mana, kapan, bagaimana, dan untuk apa. Jurnalis terkenal yang berjasa mengungkap skandal Watergate—yang melibatkan Presiden Richard Nixon—itu hendak mengingatkan bahwa seorang jurnalis mesti skeptis terhadap sumber informasi.

Mengapa? Karena jurnalis adalah pembangkit semangat, pembuat kesadaran, dan penuntun masa depan. Itu kata Katherine Anne Porter (1890-1980), jurnalis, novelis, cerpenis, penyair, dan aktivis politik asal Amerika Serikat, yang kesohor lewat karyanya “Ship of Fools”. Artinya, kita tak lagi bicara “bebas dari” melainkan “bebas untuk”.

BACA JUGA:  Sebagai Pelukis Baliho Konser KLa Project Pertama di Makassar 1993

Bagai Gelembung Sabun

Diskusi yang dipandu Arwin D Awing, SE, jurnalis Bugis Pos dan Nusantara Insight ini, menghadirkan dua pembicara kawakan, masing-masing Fredrich C Kuen, S.Sos, M.Si, Direktur Utama P2MTC (Phinisi Pers Multimedia Training Center) dan Dr Drs M Dahlan Abubakar, M.Hum, tokoh pers nasional dan akademisi.

Keduanya banyak membahas sofistikasi teknologi informasi yang tengah trend. Dengan smartphone yang berbasis android atau iOS kita leluasa berselancar di berbagai platform digital. Seketika itu juga kita memasuki belantara informasi yang, pada saat bersamaan, dapat membuat kita tersesat dan menyesetkan banyak orang. Tak terkecuali kalangan jurnalis dan konten kreator. Di sinilah kalimat pembuka tulisan ini patut dicamkan.

Tak bisa dipungkiri, dukungan perangkat yang ada dalam genggaman kita sangat membantu. Jurnalis dapat membuat berita dengan mudah, murah, dan instan. Kalau mau—dan itu bisa dilakukan—jurnalis bisa memproduksi berita setiap saat, kapan dan di mana saja.

Syaratnya, dia punya gadget, jaringan internet, dan kuota data. Setelahnya, dia cukup menggunakan asisten: artificial intellegence, disingkat AI. Hanya dengan mengajukan pertanyaan sebagai instruksi, algoritma akan memberi jawaban. Kecerdasan buatan ini sudah pasti patuh bekerja, tanpa perlu cuti, dan menuntut upah tinggi.