Jadi kita sekarang bisa menepis pandangan bahwa yang membentuk kepribadian seseorang adalah mutlak keturunan atau lingkungan. Padahal sebenarnya, keturunan bersama lingkunganlah yang membentuk diri kita. Bayangkan saja apabila anak jenius tadi tidak berada di lingkungan yang mendukung bakat mereka. Bagaimana jika mereka terlahir miskin? Atau tidak memiliki mentor yang membimbing mereka? Atau tidak memiliki keluarga yang mendukung “minat” mereka? Jadi jelas lingkungan memiliki dampak besar terhadap kepribadian kita terlepas dari faktor genetik. Bersyukurlah mereka yang memiliki kedua-duanya yakni terlahir di lingkungan yang suportif serta secara genetik memiliki potensial untuk menyerap ilmu lebih cepat, yang kemudian membuatnya berkembang lebih cepat.
Lalu bagaimana bisa orang yang terlahir dengan gen rata-rata/biasa bisa menjadi generasi yang berbakat atau unggul?, Sebagaimana penjelasan sebelumnya, meskipun genetik memberikan dasar tertentu, lingkungan dan usaha yang kita lakukan sangat berperan dalam membentuk kepribadian dan kemampuan kita, bahkan menurut Anders Ericsson, psikolog dari Florida State University, semua orang bisa punya kesempatan yang sama. Salah satu cara yang ditawarkan adalah dengan cara “Deliberate Practice” yaitu melatih keahlian secara sistematis dengan tujuan yang jelas. Maksudnya kalau kita latihan yang terstruktur dan berulang dimana setiap mengalami kegagalan pada tujuan tertentu dipikirkan penyebab kegagalannya dan dipikirkan pula bagaimana memperbaikinya kemudian coba lagi secara berulang hingga melampau keberhasilan yang diinginkan dapat memicu maksimalnya potensi seseorang.
Jadi pada akhirnya, kita tahu apa yang terkandung dalam DNA kita, hanyalah sebatas potensial murni yang tidak ada artinya apabila tidak diimbangi dengan pendidikan dan kerja keras. Walaupun kita tidak sepenuhnya terlahir sebagai tanah liat tanpa wujud, kita juga tidak terlahir dengan takdir dan masa depan yang sudah tertata rapi di depan mata. Kita semua terlahir dengan potensial laten yang tidak dapat kita lihat, baik itu dalam bidang akademis, atletis, maupun artistik. Yang bisa kita lakukan hanyalah untuk menemukannya dan kemudian mengasahnya.
Dalam tulisan ini, penulis teringat momen ketika ayahnya memperkenalkan bilangan dan operasi dasar matematika sejak dini, bahkan mungkin sebelum anak-anak lain di lingkungan sekitar mengenal dan mempelajari materi tersebut di sekolah.
Dengan menggunakan kapur putih yang digoreskan di dinding-dinding rumah, ayah penulis menciptakan pengalaman belajar yang sangat membantu ketika penulis mulai menghadapi pelajaran matematika di sekolah. Pengalaman ini mungkin menjadi salah satu faktor yang membentuk kecintaan penulis terhadap matematika, karena penulis merasa lebih siap dibandingkan anak-anak lain yang belum mendapatkan pengajaran serupa. Hal ini memicu motivasi berantai untuk terus belajar sebelum masuk kelas matematika, sebuah strategi yang ternyata terbukti efektif dalam mendukung pengajaran di sekolah. Pada akhirnya, pengalaman ini membuka jalan bagi penulis untuk diutus menjadi perwakilan sekolah dalam olimpiade matematika, mulai dari tingkat dasar hingga menengah, dan akhirnya memengaruhi pilihan tujun karier di bidang pendidikan matematika. Memang, motivasi sering kali tumbuh secara berantai, dimulai dari pencapaian-pencapaian kecil di masa lalu.