Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
Memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisab-Nya
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya
Musliminkah
Mukminin
Muttaqin
Khalifah Allah
Umat Muhammadkah kita?
Khaira Ummatinkah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain
Atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak-budak perut dan kelamin
Sejalan dengan puisi di atas, Allah SWT telah menerangkan dalam Surah Al-A’raf ayat 179 dengan firman-Nya, “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata tapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Lazimnya memang, kualitas manusia akan sangat ditentukan oleh kekuatan (quwwah) yang ada pada diri manusia itu sendiri. Menurut Sayyid Kamal Haidari, ada beberapa jenis kekuatan yang membentuk jiwa (nafs) manusia. Pertama, Quwwatun Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong seseorang untuk mencari kepuasan lahiriah dan kenikmatan sensual. Kedua, Quwwatun Sab’iyyah atau kekuatan binatang buas. Kekuatan ini yang mewujud saat seseorang senang menyerang orang lain, memakan hak orang, membenci, menghancurkan dan mendengki orang lain. Ketiga, ada juga yang disebut para sufi dengan Quwwatun Syaithaniyyah/wahmiyyah. Yaitu kekuatan yang mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang dilakukan. Misalnya, melakukan korupsi. Setan lalu membisikkan kalau ia tidak perlu merasa bersalah, karena itu dilakukan untuk membantu orang lain. Namun, Tuhan juga menetapkan pada diri manusia, percikan cahaya Tuhan yang dinamai Quwwatun Rabbaniyyah atau biasa pula diistilahkan Quwwatun Aqliyyah. Ini adalah bagian penting dari kepribadian manusia, sebab kekuatan ini terletak pada akal sehatnya.
Karena tahun baru Islam terkait dengan peristiwa hijrah Rasulullah SAW, maka sejatinya, saat momentum tersebut tiba, pengikut Rasul suci, mesti melakukan hal yang sama dalam bentuknya yang lain. Dengan potensi kekuatan yang dimiliki, setiap Muslim harus berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, dari berbagai hal yang negatif menuju pada yang positif. Jalaluddin Rakhmat dalam Reformasi Sufistik, menukil Al-Ghazali yang menjelaskan tiga gerbang yang mesti dilewati, ketika kita ingin mengaktualkan Islam. Gerbang pertama: apakah yang kita kerjakan itu betul-betul ajaran Islam, berdasarkan Al-Quran dan sunnah? Bila lulus, kita memasuki gerbang kedua: apakah yang akan kita amalkan itu, bermanfaat untuk kita dan kaum Muslim? Dari gerbang kedua, kita harus masuk ke gerbang ketiga dengan pertanyaan: apakah kita sudah menemukan cara terbaik untuk menjalankan amal itu?