Hanya saja selalu menjadi masalah karena saya sering bingung sendiri mencari judul buku itu di lokasi posisi diletakkannya. Terpaksa saya harus menggunakan lampu senter untuk menyorot punggung buku, tempat judulnya tertera. Masalahnya, buku-buku ini tidak memiliki indeks. Sama dengan buku yang ada di dalam lima lemari di perpustakaan pribadi di kamar depan atas.
Mengingat usia yang kian lansia (secara biologis menuju usia 72 tahun) saya terkadang mulai belajar cepat tidur. Biasanya mulai pukul 24.00 Wita. Ternyata, belajar tidur keluar dari kebiasaan bukan hal yang mudah. Terkadang saya memang sudah berbaring di tempat tidur, tetapi pikiran melayang ke mana-mana dan tiba-tiba saja muncul gagasan baru yang hendak dituangkan dalam tulisan. Tidak ada pilihan lain, tidur juga susah, saya pun bangun menghidupkan laptop lagi. Saya mulai menulis hingga habis. Oleh sebab itu, banyak teman yang melihat tulisan-tulisan ringan untuk media social rata-rata “diproduksi” lewat tengah malam.
Mungkin akibat dari kurang tidur ketika menyelesaikan disertasi tahun 2017, ‘format’ tidur saya mulai berantakan. Saya lebih mudah tidur duduk sambil tangan bersandar di meja pada siang hari, dibandingkan ketika berbaring di atas kasur pada malam hari. Mungkin inilah yang disebut, “siang jadi malam, dan malam jadi siang”. Entahlah.
Menulis “dalam tidur” ini mungkin terbawa dari ketika saya kerap pulang tengah malam dari piket di Harian “Pedoman Rakyat” puluhan tahun silam. Saya sering pulang lewat tengah malam dalam kondisi ruas-ruas jalan kota sepi dan lengang. (Tentu saja berbeda dengan sekarang, Makassar jadi kota yang tidak pernah “tidur”). Barangkali dipengaruhi oleh suasana sunyi itu kadang-kadang sambil mengemudi mobil saya kerap menghayal. (Bahaya juga sebenarnya, tetapi karena suasana sepi, aman-aman saja).
Yang sering membuyarkan hayalan saya adalah jika tiba-tiba ada kejadian kecil di jalan. Ya, seperti sekali waktu, hari sudah larut malam, saya meninggalkan kediaman Pak Ande Abdul Latief (alm.) di Jl. Andi Mappanyukki. Waktu itu kediaman beliau menjadi markas supoter PSM Mappanyukki ketika belum banyak kelompok suporter PSM muncul seperti sekarang. Banyak wartawan bergabung di rumah tersebut. Di antaranya ada Waspada Santing dan Aidir Amin Daud dari harian Fajar. Biasanya, kami bermain kartu sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Malam itu, jika tidak salah, di mobil Suzuki Carry merah saya ikut Aidir yang tinggal di sekitar Jl. Abdullah Dg.Siruwa bagian dalam. Ketika itu, dari Jl. Sungai Saddang Baru, bisa memotong jalan, menyeberang ke Jl. Abdullah Dg.Siruwa. Jl.A.Pangerang Petta Rani belum dua jalur seperti sekarang. Jadi saya bisa potong kompas ke rumah di Antang sana yang ketika itu sangat sunyi dan lengang jika sudah pukul 22.00 ke atas.