NusantaraInsight, Jakarta — Kadang hidup menghadiahi kita momen-momen kecil yang sama sekali tidak direncanakan, tetapi justru terasa paling perlu. Pagi itu, entah dari mana datangnya, saya yang sedang berada di Tangerang Selatan tiba-tiba merasa “harus”sholat Jum’at di Masjid Istiqlal. Tidak ada rencana, tidak ada janji, hanya semacam magnet halus yang menarik langkah ke sana. Seperti ada panggilan batin yang tidak bisa ditawar, seolah seseorang berbisik bahwa “Pergilah, ada sesuatu yang harus kamu dengar hari ini.”
Masjid Istiqlal megah, lapang, anggun berdiri di jantung ibu kota bukan sebatas bangunan. Ia seperti ruang sejarah yang hidup. Saat kubah raksasanya tampak dari kejauhan, saya merasa sedang disapa oleh sebuah peradaban. Bung Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati tempat sucinya.” Dan saat itu, kata-kata itu seakan bertahun-tahun di antara tiang-tiang masjid, menempel pada dinding-dinding yang telah melihat banyak peristiwa, dan menelusup ke dalam dada saya. Istiqlal seperti berdiri tegap sambil berkata pelan, “Beginilah wajah sebuah bangsa ketika ia memuliakan ruang spiritualnya.”
Saya tidak pergi sendirian. Ada tiga teman bersama saya. Kami sedang menginap di Tangerang Selatan untuk menghadiri acara lamaran anak sahabat kami, Pak Arwan D. Awing, direktur BugisPos Grup. Rombongan kecil dari Makassar yang nekat menembus jarak demi sebuah momen kebersamaan. Di mobil, suasana seperti biasa yakni obrolan ngalor-ngidul, bercanda soal pertemuan kultur Makassar dan Jakarta, dan tawa tanpa skenario.
Dari bangku belakang, seorang teman nyeletuk,
“Eh, jangan-jangan nanti bukan calon menantu yang kaget, tapi keluarganya lihat rombongan kita heboh begini.”
Tawa langsung pecah. Candaan sering kali menjadi bensin terbaik bagi perjalanan panjang.
Tapi ya, Jakarta tetap Jakarta. Tetap setia dengan wataknya. Jarak 25 kilometer terasa seperti perjalanan lintas provinsi. Secara teori dekat, tapi pada praktiknya Jakarta seperti ingin berkata, “Jangan terburu-buru, aku yang atur ritmemu.” Mobil merayap pelan dalam barisan kendaraan yang tidak berkesudahan. Saya sempat membatin, “Hidup di kota besar itu lucu semua orang terburu-buru, tapi tetap berhenti.” Saya teringat pada apa yang dikatakan Franz Kafka, “Hidup ini terburu-buru, namun kita tidak pernah sampai.” Kadang memang benar, macet itu guru yang tidak perlu mengenalkan dirinya dia langsung mengajari sabar.
Setelah ritme perjalanan yang lambat namun tetap menyisakan tawa, kami akhirnya tiba di Istiqlal tepat waktu. Wudhu dengan air dingin di lantai dasar seperti merontokkan penat perjalanan. Kami naik ke ruang utama lantai dua, menemukan tempat duduk, dan tidak lama setelah duduk muadzin mengumumkan khutbah akan dimulai. Lima menit kemudian, masjid berubah hening. Bukan hening kosong, tapi hening yang penuh. Hening yang membuat dada terasa lapang.







br






