Sampai-sampai suatu saat, para istri Sultan ini dipanggil keluarganya ke Makassar. Tidak mau membiarkan istrinya masing-masing berangkat sendiri-sendiri, para putra Sultan itu pun menyampaikan kepada Sultan Bima perihal rencana itu.
“Kalau kalian semua berangkat ke Gowa, bagaimana dengan kesultanan ini yang tanpa pejabatnya,” Sultan berkata dan tidak jelas bagaimana kelanjutan kisah tersebut.
Setelah cerita tentang hubungan Gowa-Bima usai, Pak Hasan Hasjim pun berkisah tentang hubungan dengan Haji Abdul Malik Karim Amirullah (HAMKA). Seorang ulama besar yang juga dikenal sebagai sastrawan yang dilahirkan di Tanah Minangkabau 17 Februari 1908, berpulang 24 Juli 1981 dan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta, meskipun beliau kemudian dinobatkan sebagai seorang Pahlawan Nasional.
Pada tahun 1976, HAMKA berkunjung ke Ujungpandang (Makassar). Salah satu agendanya membawakan ceramah di Masjid Raya Ujungpandang. Saya masih ingat, ikut hadir pada saat HAMKA membawakan ceramah subuh tersebut. Jika tidak keliru, itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Setiap subuh, saya selalu hadir di Masjid Raya, karena letak tempat kos di Jl. Kandea II cukup dekat. Karena letak tempat kos dengan kediaman berdekatakan, sehingga, jika kami (saya dengan teman-teman kos) ke Masjid Raya, biasa calon istri juga ikut. Tokh jaraknya tidak cukup 500m.
Usai berceramah subuh, Hasan Hasjim pun bertemu dengan HAMKA dan memperkenalkan diri dari Sungguminasa Gowa.
“Wah..untung saya bertemu. Saya berutang budi dengan Gowa. Buku yang dikarang oleh Syekh Yusuf itulah yang menambah pengetahuan agama saya yang luar biasa. Saya mau berkunjung ke Gowa (Makam Syekh Yusuf),” tiba-tiba saja HAMKA menyampaikan keinginannya di luar agendanya kepada Hasan Hasjim.
Mendengar keinginan HAMKA, Hasan Hasjim pun tidak pikir panjang. Juga lupa menyampaikan kepada Panitia yang mendatangkan tokoh ini, perihal keinginan HAMKA mengunjungi Makam Syekh Yusuf. Hasan Hasjim pun “kabur” dari Masjid Raya tanpa diketahui oleh Panitia.
Selama dua jam, HAMKA lepas dari pengawasan dan pengetahuan Panitia. Hasan Hasjim menjelaskan, pada waktu itu kekuasaan Orde Baru sedang “sengit-sengit’-nya mengawasi setiap tokoh, termasuk HAMKA yang ketika Orde Lama pernah dipenjarakan oleh Bung Karno. Sedikitnya, empat tank dikerahkan untuk mencari dan mengawal sosok penulis Novel “Di Bawah Lindungan Kakbah” tersebut dalam kunjungan tersebut. Soalnya, Jakarta baru setahun lebih dilanda huru hara akibat Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari).
Setelah menuntaskan agenda di Sungguminasa, Hasan Hasjim bersama HAMKA kembali ke Makassar dan bertemu Panitia yang sedang kalang kabut mencari tamunya. Gara-gara kasus ini, Hasan Hasjim diperiksa pihak berwajib beberapa lama. Di dalam keterangannya, Hasan Hasjim mengakui bersalah karena tidak melapor dan meminta izin kepada Panitia, meskipun HAMKA sendiri yang minta berkunjung ke Masjid Syekh Yusuf di perbatasan Makassar-Gowa itu. (M.Dahlan Abubakar).