Teman sekelasku itu membawa pesan. “Bro, sekadar info dari wali kelas. Pihak sekolah meminta kepastian mengenai sekolahmu. Apakah masih mau lanjut sekolah atau tidak. Karena sudah ada beberapa surat panggilan tapi kamu dan orangtuamu tak pernah meresponsnya.”
Akh, situasi ini membuatku teramat bingung. Di satu sisi ada aturan sekolah yang mesti dipatuhi, yakni salah satunya jika tidak masuk sekolah lebih dari 3 hari maka bukan lagi diberi surat panggilan, tapi pasti sudah berupa peringatan. Di sisi lain, ada kebutuhan finansial yang harus juga kupenuhi. Aku bekerja di sini untuk memenuhi keperluan keluarga.
Karena ada utusan sekolah lewat teman kelasku itu, maka aku balik ke kampung halaman. Aku pertimbangkan surat panggilan sekolah itu. Aku diskusikan masalahku dengan beberapa teman dan kakak-kakakku.
Di sela-sela diskusi, ada satu pernyataanku yang membuat mereka cukup terkejut. Aku putuskan untuk pindah sekolah. Mendengar rencanaku itu, langsung dibantah oleh salah satu kakak. Katanya, “Dengar baik-baik Haekal. Jika kamu pindah sekolah, siapa yang bantu ibumu di rumah? Siapa yang jaga adek-adekmu. Jadi tolong dipertimbangkan kembali rencanamu.”
Ahhh, aku mulai gamang. Hatiku luruh. Dalam hati aku membenarkan apa kata kakakku. Hanya saja, dengan sederet kenakalan dan kasus yang kupunya, rasa-rasanya akan lebih baik jika aku pindah sekolah. Ini pilihan yang sulit . Namun mungkin itu bisa mengurangi beban kekhawatiran dan pikiran ibu. Keputusanku bulat, aku harus pindah sekolah!
“Hidup ini adalah pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.”
Tepat 16 Agustus 2020, aku ambil keputusan terbesar dalam hidupku. Keputusan ini akan menentukan masa depanku. Dengan doa restu ibu dan dukungan adik-adikku. Aku melanjutkan petualangan di Kota Makassar. Aku pindah sekolah, saat duduk di kelas 2 SMA. Di Kota Daeng ini, sudah empat tahun aku mengadu nasib. Aku berhasil menamatkan sekolahku di MAS Al-Hidayah Makassar dan kini menjalani status sebagai mahasiswa UIN Alauddin. (*)