Insiden Kematian 11 Penambang dan Pembakaran Sekolah di Papua

Oleh: Haekal Rumaday (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)

NusantaraInsight, Makassar — Peristiwa kematian 11 penambang dan pembakaran sebuah sekolah di wilayah konflik Papua menambah deretan panjang kekerasan yang telah membelenggu tanah kaya sumber daya ini selama puluhan tahun. Dari sudut pandang internasional, insiden ini bukanlah kejadian insidental, melainkan manifestasi dari ketegangan struktural yang melibatkan persoalan ekonomi ekstraktif, marginalisasi sosial, ketimpangan pembangunan, dan strategi geopolitik yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Dalam konteks global yang semakin menekankan hak asasi manusia dan keadilan distribusi, tragedi ini menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan mendasar: sampai kapan Papua akan dikelola dengan pendekatan koersif dan bukan partisipatif?

Dari sudut pandang ekonomi, Papua telah lama menjadi simbol resource curse, yakni kondisi di mana kekayaan sumber daya alam justru membawa malapetaka ketimbang kesejahteraan. Wilayah ini menyimpan cadangan emas, tembaga, dan mineral langka lainnya dalam jumlah luar biasa, yang dieksploitasi sejak era kolonial hingga masa pascareformasi oleh perusahaan-perusahaan besar, termasuk Freeport-McMoRan. Namun, pengelolaan sumber daya ini berlangsung dalam kerangka relasi yang timpang: negara pusat bersama entitas korporat mengeruk keuntungan besar, sementara masyarakat Papua hanya menjadi penonton, bahkan korban, dari proses industrialisasi tambang yang tidak inklusif. Penambang yang tewas dalam insiden tersebut kemungkinan besar merupakan bagian dari jaringan penambangan rakyat yang sering dipinggirkan dan tidak mendapat perlindungan hukum, sosial, maupun ekonomi dari negara. Dalam hal ini, ekonomi politik penambangan di Papua sarat dengan ketimpangan akses terhadap sumber daya, monopoli kekuasaan ekonomi, serta eksklusi terhadap masyarakat lokal.

BACA JUGA:  Mengembalikan Daeng Pamatte Sebagai Nama Jalan di Kota Makassar

Pembakaran sekolah yang terjadi secara bersamaan menambah lapisan ironi dalam tragedi ini. Pendidikan adalah fondasi pembangunan jangka panjang, namun di Papua, akses terhadap pendidikan dasar pun menjadi barang langka akibat konflik yang terus berlangsung. Ketika sekolah dibakar, bukan hanya infrastruktur yang rusak, tetapi juga masa depan generasi Papua yang kembali terhalang. Dari sudut pandang ekonomi pembangunan, ini menunjukkan kegagalan negara dalam membangun fondasi sosial di daerah-daerah konflik. Selain itu, hal ini juga memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah dalam menjamin keamanan sipil dan layanan publik dasar, yang pada akhirnya akan memperparah kondisi keterbelakangan Papua secara struktural.