F) Kinerja Lingkungan: Masa Depan yang Terancam?
Lingkungan hidup menjadi salah satu isu global yang semakin mendesak. Dalam Indeks Kinerja Lingkungan (EPI), Indonesia memperoleh skor yang sangat rendah, hanya 28.2, jauh di bawah Singapura (50.9), Jepang (59.6), dan Korea Selatan (46.9).
Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Tetapi ironisnya, keberlanjutan lingkungan masih sering dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Deforestasi, pencemaran air dan udara, serta minimnya komitmen dalam transisi energi hijau menjadi tantangan yang harus segera diatasi.
G) e-Government: Menuju Digitalisasi Birokrasi
Era digital telah mengubah cara pemerintahan bekerja. Negara-negara maju telah berinvestasi besar dalam transformasi digital untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.
Dalam Indeks Pembangunan e-Government (EGDI), Indonesia memperoleh skor 0.7991, masih tertinggal dari Korea Selatan (0.9679), Jepang (0.9351), dan Singapura (0.9691).
Digitalisasi birokrasi menjadi salah satu kunci utama dalam membangun pemerintahan yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih efisien.
Negara-negara dengan skor EGDI tinggi telah membuktikan bahwa teknologi dapat meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan mengurangi peluang korupsi.
Jika keseluruhan itu dibobot dan digabung dalam satu indeks saja: GGI, yang dikembangkan LSI Denny JA, ini hasilnya.
Hasil Good Governance Index (GGI) 2024 yang dikembangkan oleh LSI Denny JA adalah sebagai berikut:
• Indonesia: 53.17
• Korea Selatan: 79.44
• Jepang: 84.11
• Singapura: 87.23
Skor ini menegaskan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan di Indonesia.
Korupsi yang merajalela, birokrasi yang lamban, demokrasi yang belum sepenuhnya transparan, ketimpangan sosial yang tinggi, dan kebijakan lingkungan yang lemah adalah tantangan nyata yang harus dihadapi.
-000-
Tiga studi kasus akan dipaparkan. Kasus pertama: Singapura contoh negara yang berhasil melompat menjadi kekuatan ekonomi global melalui pemberantasan korupsi besar-besaran.
Pada 1960-an, negara ini menghadapi masalah korupsi sistemik yang menghambat pertumbuhan.
Namun, di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, Singapura mengadopsi kebijakan nol toleransi terhadap korupsi.
Pemerintah membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), sebuah lembaga independen yang memiliki kewenangan luas untuk menyelidiki dan menindak korupsi, tanpa pandang bulu.
Hukuman berat bagi pelaku korupsi, reformasi birokrasi. Lee Kwan Yew juga meningkatkan transparansi dalam tata kelola negara, untuk menciptakan sistem yang bersih dan efisien.