-000-
Tata kelola pemerintahan yang baik bukan sekadar wacana, melainkan syarat mutlak bagi sebuah negara yang ingin melompat ke level kemajuan yang lebih tinggi.
Indonesia, dengan segala potensinya, kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ada ambisi besar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, menarik investasi global, dan membangun infrastruktur sosial yang lebih inklusif.
Namun di sisi lain, hambatan lama masih menghantui: korupsi yang mengakar, birokrasi yang lamban, serta tata kelola yang belum sepenuhnya transparan.
Good Governance Index (GGI) yang dikembangkan oleh LSI Denny JA hadir sebagai cermin sekaligus peta jalan bagi Indonesia.
Dengan enam indeks utama: Efektivitas Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, Demokrasi, Pembangunan Manusia, Keberlanjutan Lingkungan, dan Digitalisasi Pemerintahan, GGI memberikan gambaran komprehensif tentang di mana kita berada dan ke mana kita harus melangkah.
Namun, lebih dari sekadar angka dan peringkat, GGI panggilan untuk bertindak. Ia menunjukkan tanpa efektivitas pemerintahan, kebijakan hanya akan menjadi dokumen tanpa dampak nyata.
Tanpa pemberantasan korupsi, segala bentuk pembangunan akan terhambat oleh kebocoran anggaran dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tanpa demokrasi, rakyat kehilangan suara dalam menentukan masa depan mereka sendiri.
Tanpa pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati oleh segelintir elit.
Tanpa keberlanjutan lingkungan, kemajuan hari ini akan menjadi beban bagi generasi mendatang.
Dan tanpa digitalisasi birokrasi, kita akan tertinggal dalam dunia yang semakin berbasis teknologi.
Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk mencetak sejarah sebagai pemimpin yang membangun fondasi tata kelola yang bersih dan efektif.
Ia dapat menjadikan momen ini sebagai awal dari era baru pemerintahan yang transparan, cepat, dan berpihak pada rakyat.
Namun, tanpa reformasi besar-besaran dalam tata kelola, semua gebrakan Prabowo itu akan terperangkap dalam sistem yang belum cukup siap untuk menanggung beban perubahan besar.
“Dulu, di desa terpencil, Budi hanya bocah kurus beralas kaki lumpur, berjuang melawan lapar dan gelap.
akankah uluran tangan pemerintah membuka pintu sekolah gratis, makan siang bergizi, kesehatan gratis, memberinya cahaya masa depan?
Sepuluh tahun ke depan, akankah Budi kembali, berdiri tegap di jembatan yang dibangunnya, menyatukan desa dengan dunia luar?
Dari kemiskinan, akankah ia bangkit, menjadi harapan bagi anak-anak kecil yang dulu seperti dirinya, bermimpi di antara sawah dan senja?”