Kota Takalar Lama di masa lampau merupakan pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan. Dahulu terdapat Rumah Sakit Umum Takalar, penjara lama, kantor pos dan Sekolah Rakyat (SR). Kabarnya, orang Gowa dan Jeneponto bersekolah di situ.
Kota tua ini memang merupakan kota bersejarah. Ada banyak jejak historis di sini, termasuk rel kereta api pertama yang menghubungkan Takalar dengan Pasar Butung, di Makassar. Menurut cerita warga, di belakang baruga, dekat lapangan, merupakan jalur rel kereta api.
Kegiatan pendampingan kami di Takalar Lama, rutin dilakukan, setiap hari Ahad. Anak-anak yang ikut kegiatan merupakan keluaran Pelatihan Dewan Anak. Mereka antara lain, Acculu (Nasrullah), Risal, Bia, Maro, Ramlah, dan Mile (Muhtar).
Anak-anak ini berasal dari berbagai dusun, yakni Dusun Kunjung Mae, Dusun Kampung Beru, Dusun Takalar, Dusun Cilallang, Dusun Pattitangngang, dan Dusun Masalleng. Anak yang paling jauh rumahnya berasal dari Dusun Kunjung Mae, yang sekarang menjadi Lingkungan Parialau.
Saya pernah bermalam di dusun ini. Untuk ke sana, kami mesti melewati Tempat Pelelangan Ikan (TPI), lalu jalan meniti di tambak-tambak penduduk, sebelum tiba di dusun yang berada di ujung ini. Saya diajak nginap bersama beberapa anak dampingan, bakar ikan, dan nyanyi-nyanyi dengan gitar di malam hari.
Anak-anak memang sempat protes karena pertemuan selalu diadakan di Dusun Cilallang, tempat baruga berada. Agar adil, maka kami bersepakat untuk sesekali mengadakan pertemuan di dusun-dusun lainnya, sesuai kesediaan kader Plan Indonesia PU Takalar yang mau ditempati rumahnya.
Kader Plan ini merupakan contact person kami dengan anak-anak. Kader Plan, saat itu, terdiri dari Nidia, Hasnah, Mabe, Murni, Sunggu (alm), dan Fatma.
Ada kejadian di mana seorang anak, yang akan diutus mengikuti kegiatan di Jakarta, batal berangkat hanya gegara dia muntah-muntah saat berada di pete-pete. Rupanya, anak itu baru pertama kali naik pete-pete.
Belum lama berada di atas pete-pete, kepalanya pusing. Dia tak tahan saat angkot yang ditumpangi dalam perjalanan menuju Bandara Sultan Hasanuddin. Akibatnya dia muntah-muntah. Anak itu akkhirnya kembali pulang, dan batal ke Jakarta.
Untuk saya sendiri, perjalanan ke Takalar Lama tidak selalu lancar. Kala itu, saya tidak selalu bisa mendapatkan tumpangan yang langsung ke Takalar Lama.
Sadar akan kondisi seperti itu, maka saya akan menyetop pete-pete merah, lalu bertanya, sampai di mana sopirnya bisa mengantar saya. Kadang pete-petenya hanya sampai di Pa’leko. Kadang bisa sampai di Pa’ri’risi, atau Pasar Patallassang. Nanti dari situ saya nyambung lagi agar bisa tiba di baruga dan bertemu dengan anak-anak dampingan.







br






