Ditengah situasi gamang dan chaos karena implikasi teknologi yang sedemikian massif, manusia merindu nostalgia masa lalu dalam Tradisi. Bagi masyarakat yang belum sepenuhnya tercerabut dari akar Tradisionalismenya, mungkin masih punya harapan. Namun jika generasi kita, sudah sepenuhnya terpisah dari akar kebudayaan Tradisi, maka mereka akan terus terseret dalam rasa gamang kehidupan yang tiada ujung.
Kebutaan ‘paradigmatik’ kita, mengenai Tradisi sebagai akar kebudayaan bangsa dan Modernisme sebagai kebudayaan ‘parasit permanen’ abad mutakhir, menimbulkan, bukan hanya gejala tetapi juga penyakit ‘scizofrenia kebudayaan’. Diam-diam kita mengidamkan Tradisi, karena merupakan ‘esensi budaya’ manusia, saat bersamaan kita tetap cemas dan khawatir dalam kenikmatan modernisme.
Penutup
Maka membaca budaya sebagai ‘metode’ mengeja zaman, adalah (1) Mendalami pikiran/paradimga Tradisi, sebagai sebagai sistem hidup manusia yang berbasis nilai-nilai moral dan etik dari sumber-sumber spritualisme dan/atau religiusitas tertentu. Tuhan sebagai pusat kebudayaan. (2) Memahami spirit/paradigma Kebudayaan Modern, sebagai sistem kehidupan manusia yang berbasis pada nilai dan moral rasionalisme ilmiah, yang diaplikasikan dalam tehnologi dengan segala levelnya, yang akhirnya membentuk masyarakat industri. Dari era industri 1.0 hingga 5.0. Dan manusia sebagai pusat segala aktivitas kehidupan. (3) Mengetahui secara historis, bahwa Tradisi merupakan awal sejarah dan kebudayaan modern bukan akhir sejarah, tetapi ‘fase sejarah’ yang mendorong manusia untuk kembali kepada Tradisi. Sebagaimana puisi Sanai, menyebut: kebenaran yang datang awal, dia akan tiba terakhir.
SM. Januari 2025 M / Syahban 1446 H