Oleh: Mohammad Haekal Rumaday (Mahasiswa UIN Alauddin, Makassar)
NusantaraInsight, Makassar — Ketika kita memilih untuk berubah atau meyakini suatu nilai baru dalam hidup kita, itu berarti bahwa kita sedang memilih memasukkan suatu rasa sakit baru dalam hidup kita. Maka nikmati, terimalah dan kerjakanlah apa yang jadi tujuan dan tanggung jawab kita.
Ketika sesuatu yang menjadi alasan untuk mewujudkan impian harapan, dan tujuan pupus, maka semua akan terasa gagal. Kita akan berujar, “Yah, saya gagal. Ah, sial.”
Gagal, gagal dan gagal lagi, akan membuat ego kian berkuasa. Membuat kita tak mampu untuk mensyukuri segala nikmat Sang Pencipta. Sehingga tepat kata orang, dewasa adalah tentang pilihan dan nilai yang dipertanggungjawabkan.
Tepat semester 2, Tahun Ajaran 2022-2023, aku mencoba keberuntungan dengan ikut menjadi salah satu peserta calon penerima beasiswa dengan harapan bisa mengurangi biaya kuliah. Selama menanti hasil kelulusan, aku sholat lima waktu selalu. Semua memusat pada satu harapan dan doa: semoga lulus beasiswa.
Akhirnya tanggal yang dinanti tiba. Aku membuka link yang di-share melalui grup peserta beasiswa. Ya, harus diakui, aku sangat deg-degan. Semua perasaan bercampur aduk. Bismillah, akhirnya kubuka link itu. Alhasil aku dinyatakan tak lulus. Itulah kenyataan yang sulit tuk diterima, “Saya gagal!”
Harus diakui air mata mengalir perlahan dari pipi. Aku menyesali kegagalan ini. Melalui WhatsApp kabar ini kusampaikan kepada kakakku. Dia, dengan nada sedikit menguatkan, mengatakan padaku, tidak apa-apa.
“Mungkin belum rezekimu. Kuliah saja, tidak perlu khawatir biaya UKT-mu.” Kata kakakku, menenangkan.
Pada kenyataannya kuliahku tetap berjalan. Waktu mengalir begitu cepat dan semua peristiwa itu terlupakan.
Tepat semester 4, suatu peristiwa paling mengerikan terjadi dalam hidupku. Peristiwa ini tak akan kulupakan seumur hidupku. Ketika itu, aku menyangka semua mimpi dan harapanku sudah kandas.
Aku ingat, hari itu sekira pukul 19.00 lewat sekian menit handphone-ku berbunyi. Adikku menghubungi melalui WhatsApp. Kami mulai berbincang lewat saluran teknologi itu.
“Hallo, Dek, ada apa?”
“Berita buruk, Kak.”
“Haa?” Aku cukup kaget, tidak seperti biasa kalimat itu keluar dari mulut adikku.
“Buruk kenapa, Dek?
“Adik kita yang paling bungsu hamil.
“Ha, hamil?”
Pikiranku mulai tidak karuan. Marah sekaligus sedih.
“Siapa yang berani melakukan perbuatan kejam itu?”
“Salah satu pemuda di kampung kita.”
“Saya akan kabari kembali, yah.” Demikian percakapan singkat itu.
Tanpa sadar air mataku bercucuran. Orang yang jadi alasan untuk saya kuliah, kini telah hamil dan sebentar lagi akan berkeluarga. Semua terasa hampa. Mimpi dan harapan yang selama ini membuncah kini serasa hancur berantakan.