Bayi Terlahir di Puncak ‘Ncanga’ itu, Kini Profesor!

Prof.Dr.Abdullah Abd. Thalib, S.Ag., M.Ag.
Prof.Dr.Abdullah Abd. Thalib, S.Ag., M.Ag. “

Hafsah pun berjalan, ketiga anaknya masih tetap menyiangi padi. Pada sebuah batu besar yang tertanam dalam di tanah, dia bersandar sejenak sembari memegang perutnya.

Berharap dengan beristirahat sejenak sakit perutnya akan reda. Tetapi ini bukan sakit perut biasa. Di bagian dalam perutnya, Hafsah merasakan ada yang bergerak.
Seolah menendang-dendang dinding perutnya. Dia lupa ada generasi yang akan hadir di bumi. Meninggalkan alam rahim seorang perempuan.
Hafsah pun berjalan meninggalkan ketiga anaknya yang terus bekerja menyiangi padi. Dia mendaki lereng “ncanga” seorang diri, menuju “salaja” (pondok) di kejauan sekitar 200m di atas sana. Lereng ini memiliki kemiringan terbilang ekstrem. Diperkirakan mencapai antara 60-70 derajat. Tanjakan ini harus ditaklukkan Hafsah untuk menjangkau “salaja” yang tegak di dekat pohon asam yang hingga kunjungan saya 21 Juli 2025 menjadi saksi bisu kelahiran putra ke-5 pasangan Abd.Thalib-Hafsah.
Belum lama Hafsah meninggalkan ketiga anaknya mencabuti rumput liar di antara pohon padi, dari arah “salaja”, terdengar suara tangis bayi.

BACA JUGA:  Masjid Sebagai Monumen Peringatan

“Eaak..eaak…eeaaak!,” baru saja Hafsah yang berkeringat mendaki bukit “ncanga”, naik ke salaja suara ini terdengar.

Matahari baru saja naik belum terlalu tinggi. Masih berat condong ke timur. Bahkan hampir masih tersembunyi di balik “ncanga” yang sebelah kanan. Hafsah mendaki lereng di barisan “ncanga” yang sebelah kiri. Udara masih sejuk di puncak gunung. Sinar mentari mengirim udara sejuk di puncaknya hari itu.

Mendengar suara itu, ketiganya segera menghentikan pekerjaannya. Suhartati dan Asmah segera ke “salaja”. Abd. Halik yang setelah mendengar suara bayi langsung berlari ke desa menjemput “sando” (dukun beranak). Suhartati dan Asmah yang belum mengerti akan proses kelahiran seorang manusia, sebelumnya memang melihat ada darah dan kotoran membekas di sarung yang dikenakan ibunya. Tetapi mereka tidak mengerti tanda-tanda seseorang akan bersalin.

Mereka masih remaja, terlalu muda untuk memahami fenomena seperti ini. Meskipun berusia 14 tahun saat itu, Suhartati masih awam dan belum pernah melihat seorang perempuan melahirkan. Apalagi Asmah yang baru berusia 11 tahun. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti urusan perempuan dewasa yang melahirkan.

BACA JUGA:  Ketika Tanah Sendiri Menjadi Sasaran Tambang di Kolaka

“’Kalembo ade ta inae’…(banyak sabar, Ibunda)” hanya itu yang mampu Suhartati dan Asmah ucapkan kepada ibunya saat tiba di salaja beberapa saat kemudian setelah ibunya melahirkan.

“Na mone ki Sei,” (laki-laki, Hafsah),” Suhartati memberi tahu ibunya mengenai jenis kelamin anaknya yang baru lahir itu laki-laki setelah tiba di salaja. Suhartati dan Asmah tidak berbuat apa-apa menghadapi pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang perempuan yang piawai yang bernama sando melahirkan.

br