Malam itu, saya sempat menyumbangkan suara begitu diundang naik ke atas panggung yang dibuat di depan rumahnya. Kepada Asdar Muis RMS dan istrinya, saya menyanyikan lagu “Kau yang Kusayang” milik grup band The Rollies sebagai kado ulang tahun perkawinan mereka, bukan puisi, sebagaimana diminta. Pasalnya, saya ragu membaca puisi di hadapan dedengkotnya seniman hehehe.
Pada malam itu pula, saya menyempatkan diri melihat-lihat rumah yang semula hanya bisa saya baca kisahnya di Kompas tersebut. Kebetulan, rumah itu sedang menjadi tempat pameran rumahan sejumlah pelukis Makassar.
Sungguh terlalu pendek rasanya mengenal Asdar Muis RMS. Orang yang begitu perhatian, pemberi semangat, dan betapa menghargai pekerja seni dan karyanya.
Ketika buku kumpulan puisi saya direncanakan untuk diluncurkan dan dibedah, Asdar Muis RMS begitu getol menghubungi saya, memastikan tanggal pelaksanaan acaranya. Bahkan pada malam hari pun dia mengontak saya. Menurut pengakuannya, buru-buru dirinya pulang dari Yogyakarta hanya untuk menghadiri acara saya.
Buku kumpulan puisi “Tuhan Tak Sedang Iseng” yang dilengkapi vignette ini diluncurkan dan didiskusikan di Yayasan BaKTI, Jalan Mappanyukki, tanggal 22 Juli 2014, dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional (HAN), tahun itu. Sungguh suatu kehormatan buku ini dibahas oleh Alwy Rachman dan Ishak Ngeljaratan, dua budayawan dan kolumnis, yang juga saya kagumi.
Saya yang ‘penyair pemula dan seniman dadakan’ ini merasa tersanjung. Lebih bangga lagi, pada hari itu, saya mendapat hadiah dua buku dari Asdar Muis RMS, yakni “Tuhan Masih Pidato” (2011) dan “Eksekusi Menjelang Subuh” (2012). Saya merasa sangat dipattau oleh Asdar Muis RMS.
Suatu ketika, saya menghadiri acara peluncuran buku “SYL Way II”, karya Dr H Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH, Gubernur Sulawesi Selatan, di Makassar Golden Hotel (MGH), Jalan Pasar Ikan. Saya tadinya betul-betul hadir hanya sebagai peserta, sebagai undangan. Sebagai penyuka buku, dan juga penulis, tentu acara bedah buku menjadi santapan yang tidak boleh terlewatkan.
Biasanya, acara bedah buku menjadi ajang silaturahmi antara sesama penulis atau antara penulis dengan pembacanya. Sekaligus kesempatan bagi kita menyerap kisah-kisah inspiratif dan proses kreatif lahirnya sebuah buku.
Tanpa dinyana, saya malah didaulat oleh Asdar Muis RMS sebagai salah seorang pembedah buku itu. Gelagapan, tentu saja. Karena saya sama sekali tanpa persiapan, dan dituntut mesti secara cepat membaca kritis buku yang akan dibedah itu. Peristiwa ini teramat membekas bagi saya. Beruntung, saya merasa “sukses” sebagai pembedah buku karbitan.