“Diperlukan Gerakan Spiritual Baru Menghadapi Gen Z”
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel)
NusantaraInsight, Yogyakarta — Tantangan bagi dakwah digital ada di sisi eksternal dan internal. Di sisi eksternal ada pada sisi masyarakat yang sebagian masih belum tahu atau belum mau menjangkau dakwah digital, sedangkan secara internal tantangannya ada pada konsistensi, kreativitas, dan kemampuan berdakwah secara digital. (Abdullah Sammy, Republika)
Sampai saat ini, upaya desiminasi produk-produk pemikiran dan keputusan keagamaan masih berjalan sendiri-sendiri antar-majelis, lembaga, Ortom (organisasi otonom), maupun sayap-sayap kultural (non-struktural).
“Yang krusial, dalam satu isu yang sama, dapat melahirkan ragam respons yang berbeda, bahkan kontradiktif. Komunikasi dan ‘kopdar’ sangat urgen di era disrupsi,” kata Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, pada Pelatihan Produksi Konten Dakwah Digital, di Hotel Lynn, Jl Jogokariyan, Yogyakarta, Jumat, 01 Desember 2023.
Perlu penyederhanaan sistem birokrasi dan hierarki pengambilan keputusan “fatwa keagamaan”, terutama pada persoalan-persoalan elementer yang diperlukan secara instant oleh audiens melalui sosial media.
“Pak Sekum (Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, red) pernah mewacanakan ‘Tim Fatwa Instan’, yang secara adhoc merespons keresahan-keresahan warganet secara realtime,” ungkap Fathurrahman.
Juga perlu penyederhanaan bidang kerja dakwah/tabligh yang lebih terukur dan terbatas; misalnya Majelis Tabligh dan Dakwah Digital. Sebab, pemisahan-pemisahan seperti ini melahirkan kegamangan di tingkat teknis, termasuk kesan “saling menunggu.”
“Isu-isu krusial keburu berlalu, dan warganetMu mencari pada sumber lain. Di sini, terjadi migrasi otoritas keagamaan yang berbasis keilmuan pada tradisi baru berbasis algoritma,” papar Fathurrahman.
Bagaimana dengan adaptasi Muhammadiyah dalam algoritimik otoritas keagamaan? Istilah yang digunakan oleh Campbell (2021), melihat bagaimana popularitas otoritas keagamaan itu dibentuk berdasarkan program ranking dan reputasi dalam sistem digital yang bisa ditemukan secara online.
‘Ustadz-ustadz online dari beragam latar belakang orientasi keagamaan telah mendominasi algoritmik otoritas keagamaan ini,” kata Fathurrahman.
Fleksibilitas, efektif, independen, digital ekonomi (skema endorsement, jualan, dan googleadsense), politik emosi (materi ceramah), katanya, jadi pondasi otoritas keagamaan baru ini.
“Maka penting kolaborasi para ulama dan otoritas keagamaan dengan media cetak maupun media digital,” tandas Fathurrahman.
Secara internal perlu edaran kepada seluruh jejaring dan struktur persyarikatan dari pusat sampai ranting tentang flatform sosial media, dan situs yang dimiliki oleh persyarikatan, atau berafiliasi secara kultural/personal.
Perlu memberi ruang seluas-luasnya bagai para tokoh agama untuk desiminasi pandangan-pandangan moderasi atau al-wasathiyah di tengah-tengah umat dengan bahasa agama murni, tanpa intervensi narasi politik tertentu.
“Juga penting bagi para pegiat media untuk membangun persepsi yang sama tentang ekstremisme atau terorisme atas nama agama, dan mengambil posisi yang tepat di tengah penguatan arus moderasi keberagamaan umat,” kata Fathurrahman.