Utang Luar Negeri Indonesia

Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Hal ini tecermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terjaga sebesar 31,0%, serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 84,3% dari total ULN. Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.

*Penutup*

Ekonom sekaligus Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, mengakui bahwa utang-utang pembangunan infrastruktur Presiden Joko Widodo akan mulai terasa di awal kepemimpinan Prabowo Subianto. Secara khusus, ia menyoroti sejumlah utang pembangunan yang diambil Jokowi pada 2015 dan akan jatuh tempo dalam kurun 10 tahun.

“Dibuat tahun 2015, nanti kerasa. Ketika di dalam pemerintahan Pak Jokowi kan kita ada menggenjot pembangunan infrastruktur, tapi negara alih-alih mencari dana dari, maaf, dari sumber penerimaan, nyarinya dari utang kan,” kata Dradjad dalam Kompas.com, Kamis(19/9/2024).

BACA JUGA:  AstraPay Raih Hasil Positif di GIIAS 2024

Jatuh temponya sejumlah utang negara ini berpotensi memperbanyak pungutan yang ditarik oleh negara dari rakyatnya. Menambah pungutan dari warga ini dianggap sebagai cara instan untuk mendapatkan uang besar dalam waktu singkat guna melunasi utang-utang tersebut.

“Nanti 2025 kita bayar ya, yang jatuh temponya 10 tahun. Makanya itu di tahun 2025, ketika kita saatnya bayar utang, ya negara harus narikin (pungutan), Narikinnya dari mana? Ya PPN (pajak pertambahan nilai) mau dinaikkan 12 persen, BPJS, kemudian dana pensiun dikumpulkan, segala macam,” jelas Dradjad. “Yang ujungnya kita semua memang harus ikut menanggung,” tambahnya.

Yang menjadi persoalan adalah, saat ini, kelas menengah Indonesia sedang sesak napas. Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, mencatat penurunan kelas menengah secara signifikan sejak 2019. Situasi ini menyebabkan lesunya daya beli kelas menengah yang konsumsinya selama ini menopang roda perekonomian. Terlebih, kenaikan upah para pegawai juga tak selaras dengan tingkat inflasi dan kenaikan harga.

Selain utang-utang yang ditarik Presiden Jokowi, Dradjad pun menyoroti bahwa fiskal Indonesia masih terdampak dari pengelolaan utang maupun aset negara yang kurang berhati-hati sejak puluhan tahun lalu. “Aset-aset negara eks BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dulu, bebannya kita rasakan sampai 30 tahun. Negara itu sama dengan kita. Kita ketika berutang, gampang. Tapi ketika membayar, kita kan jadi pusing,” ujar Dradjad.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah tercatat terus bertambah setiap bulannya. Hal ini seiring dengan kebutuhan pemerintah menambal defisit dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Per 31 Juli 2024, jumlah utang pemerintah telah menyentuh Rp 8.502,69 triliun, setara dengan 38,68 persen dari produk domestik bruto (PDB) RI.

br