Oleh Agus K Saputra
NusantaraInsight, Ampenan — Keterbatasan biaya pembangunan menjadi masalah utama negara-negara berkembang dalam memajukan segala sektor pembangunan. Sebagai negara berkembang, biaya yang digunakan Indonesia dalam pembangunan tentunya tidak sedikit. Kekurangan biaya di dalam negeri menjadi alasan utama Indonesia melakukan utang luar negeri (ULN). Indonesia mulai melakukan ULN dimulai pada masa orde lama dengan tujuan menambah sokongan dana melunasi kekurangan dana pembangunan yang tidak bisa dipenuhi dalam negeri.
Menurut Dr.Ir. Arief Daryanto, MEc (dalam AGRIMEDIA – Volume 7, No.1 – September 2001) banyak ahli ekonomi yang mendukung perlunya utang luar negeri karena memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi tidak sedikit yang berpendapat sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa apabila suatu negara mempunyai profil utang yang wajar atau diinginkan (a desirable debt profile), maka negara tersebut tidak perlu mengkhawatirkan eksistensi utang sebagai salah satu pendukung keberhasilan pembangunan nasional. Jika jumlah utang tidak terlalu besar, hal ini tidak akan mengancam kestabilan makro ekonomi suatu negara.
Williamson (1999) berpendapat bahwa profil utang yang wajar oleh suatu negara mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) jumlah utang tidak boleh melebihi 40 persen GNP, (2) jumlah utang tidak boleh melebihi 200 persen jumlah ekspor suatu negara, dan (3) DSR (debt service ratio), yang menunjukkan ratio jumlah utang terhadap ekspor, tidak boleh lebih dari 25 persen. Jika jumlah utang melebihi kondisi yang ditentukan dalam profil hutang yang wajar, maka eksistensi utang dianggap sebagai ancaman yang dapat menyebabkan krisis ekonomi suatu negara.
Beberapa ahli yang tidak setuju dengan peranan positif eksistensi utang dalam perekonomian di negara-negara berkembang antara lain Rostow (1985), Tanzi dan Blejer (1988) dan George (1992). Mereka mengatakan bahwa utang luar negeri justru menjadi bumerang bagi negara penerima. Perekonomian negara-negara penerima tidak semakin baik, melainkan semakin hancur. Beberapa alasan yang menyebabkan kegagalan dalam menggunakan dana pinjaman untuk pembangunan ekonomi negara berkembang antara lain adalah (1) ketidakmampuan negara penerima memanfaatkan hutang secara efektif, (2) utang luar negeri lebih bermotifkan politik dibandingkan ekonomi, (3) utang yang diterima dikorupsi oleh pejabat negara berkembang, dan (4) tidak bekerjanya mekanisme pasar akibat kegagalan pasar (market failure) serta monopoli dan oligopoli.







br






