Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
NusantaraInsight, Makassar — Iwan Azis selalu bersemangat jika diajak bicara tentang film dan bioskop. Pria kelahiran 11 Agustus 1946, di Desa Ujungnge, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan itu, bahkan pernah jadi pengurus organisasi yang mengurus bioskop, meski dia tak punya bioskop.
Saya bertemu dengannya di Warkop Azzahra, Jalan Abdullah Daeng Sirua, suatu pagi, pada pekan ketiga Oktober 2024. Kami pernah sama-sama mendirikan MPF (Masyarakat Pemantau Film), yang diluncurkan pada 30 Maret 2016, tepat pada Hari Film Nasional.
Pertemuan kami, kali ini, untuk ngopi bareng, sembari bernostalgia tentang film dan perbioskopan di Kota Makassar, terutama sebelum masuknya jaringan Studio 21.
Orang tua Iwan Azis meninggalkan Wajo, ketika dia masih kecil, tahun 50an. Dia mengaku tidak merasakan masa kanak-kanak di kampung halamannya karena ada gerombolan. Tahun-tahun itu, di Sulawesi Selatan, memang disibukkan dengan pemberontakan. Iwan kecil ikut diboyong keluarganya ke Makassar.
“Orang Bugis biasa bilang ke Juppandang. Maksudnya ke Makassar. Kalau trayek mobil ke daerah, biasa disebut Makassar pedalaman, bukan pedalaman Makassar. Jadi kalau rute ke Bone atau ke Wajo, semua disebut trayek Makassar pedalaman,” kisah Iwan Azis.
Bapaknya seorang pengusaha, pemilik Firma, bergerak di bidang ekspor impor hasil bumi. Dagangannya berupa ikan Kandea (Tawes atau Bader) yang dikeringkan. Dahulu itu, ikan Kandea kering populer. Ikan ini diperoleh dari Danau Tempe. Warga juga menjemur ikan-ikan itu di sekitar danau. Jadi kalau memasuki desa-desa di situ, tutur Iwan Azis, akan tercium bau ikan yang tengah dikeringkan.
Ikan Kandea ini oleh masyarakat setempat disebut Bale Jangko. Pamor ikan ini hilang setelah masuknya budidaya ikan Mujaer. Padahal Wajo pernah berjaya, sebagai penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi Selatan.
Pelayan datang mengantar pesanan kami. Kopi susu panas dihidangkan di depan saya, sedangkan teh susu panas diletakkan di dekat Iwan Azis. Pelayan juga membawa telur setengah matang, masing-masing untuk kami berdua. Iwan Azis pagi itu menyantap 4 telur, saya cukup 3 butir hehehe. Sambil mengaduk telur setengah matang yang ditaruh dalam gelas, pria berkaca mata minus di depanku ini bercerita.
Ketika masuk Sekolah Dasar di Makassar, dia mendaftar di SD Negeri 20 tapi ditempatkan di SD Negeri 25, lantaran belum ada bangkunya. Tamat SD, dia melanjutkan ke SMP Muhammadiyah di Jalan Muhammadiyah.