NusantaraInsight, Makassar — Guna menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional kegiatan jurnalistik.
“Wartawan Indonesia harus bersandar pada moral dan etika dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas profesionalisme ketika memberitakan sesuatu,” kata Tokoh Pers versi Dewan Pers Dr.M.Dahlan Abubakar, M.Hum saat membawakan materi pada Workshop Kehumasan yang dilaksanakan Humas Universitas Hasanuddin, di Ruang Senat Unhas Kampus Tamalanrea, Sabtu (3/8/2024).
Workshop yang berlangsung sehari dan dibuka Sekretaris Universitas (Sekun) Unhas Prof.Ir. Sumbangan Baja, M.Phill, Ph.D. tersebut, diikuti 47 peserta dari sejumlah fakultas dan unit kerja di lingkungan Unhas.
Sekun Sumbangan Baja mengatakan, workshop Kehumasan ini penting bagi humas-humas fakultas yang kelak dapat mendukung tugas-tugas Humas Unhas.
“Meskipun di fakultas-fakultas dan unit-unit kerja memiliki Humas, namun tetap berkoordinasi dengan Humas Unhas,” ujar mantan Wakil Rektor II Unhas pada era Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. menjabat Rektor Unhas tersebut.
Humanis
Pada paparan meterinya, Dahlan mengatakan, wartawan harus bersikap ramah dalam melaksanakan peliputan dan tidak boleh berpihak pada siapa pun. Dalam melakukan peliputan wartawan hendaknya tampil dengan “low profile” (sederhana).
“Jangan ada kesan Anda sebagai orang yang menyusahkan para pihak. Tidak boleh terlibat dalam praktik atau kesepakatan dengan para pihak dengan memanfaatkan posisi sebagai wartawan,” ujar mantan Pemred Harian Pedoman Rakyat tersebut.
Dalam melaksanakan peliputan untuk menjaga independensi, wartawan harus menjaga jarak dengan narasumber. Maksudnya, jangan terlalu dekat dan juga terlalu menjauhkan diri.
Menjawab pertanyaan salah seorang peserta mengenai penggunaan kata “diduga” dalam setiap pemberitaan media, Dahlan menjelaskan, wartawan dalam memberitakan sesuatu kasus yang berkaitan dengan pelaku kasus hukum, hendaknya menggunakan asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence). Artinya, setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus harus ditulis dengan diduga, hingga ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
“Jangan memvonis satu pihak melakukan sesuatu atau bersalah, sebelum ada putusan pengadilan yang tetap,” ujar Sekretaris PWI Sulsel periode 1988-1992 tersebut.
Dia menegaskan, seorang wartawan harus menjadi penyeimbang dan menempatkan diri tetap netral, tidak berpihak. Dalam melaksanakan wawancara hendaknya menggunakan bahasa dan percakapan yang santun dan menyejukkan.